Halaman

Sabtu, 11 Februari 2017

sikap réprésif pemerintah, tanda lemah diri vs sarat beban sponsor



sikap réprésif pemerintah, tanda lemah diri vs sarat beban sponsor

Kiasan “lain ladang, lain belalang” bisa diterapkan di periode pemerintah NKRI. Khususnya pasca reformasi yang bergulir dri puncaknya, 21 Mei 1998. Masuk akal jika “beda pemerintah, beda kebijakan”.

Ketahanan politik dalam negeri, buah dari efek domino negara multipartai, diperparah sikap politik antar penyelenggara negara, semakin menambah gonjang-ganjing panggung politik Nusantara.

Pemerintah lebih mengandalkan kinerja ucap, saling silang pendapat antar pejabat, ketimbang prestasi sesuai program/kegiatan lima tahun. Media massa ambil keuntungan dalam kemelut, dengan membersar-besarkan kejadian perkara sebenarnya sampai tyang ulang dengan berbagai bumbu provokatif. Tidak sekedar membodohi permirsa, sekaligus potensial sebagai sarana adu domba, tebar fitnah. Berita bohong menjadi produk unggulan sampai produk sampingan.

Diyakini bersama, persatuan dan kesatuan, menjadi daya rekat bangsa sekaligus potensi retak bangsa. Ikatan moral secara ideologis semakin nyata tidak terjalin. Sejak ada oposisi setengah hati, oposisi banci sampai partai tidak siap menang dalam pesta demokrasi.

Daya kritis rakyat, penduduk, warga negara dianggap sebagai ancaman. Stigma gerakan radikal anti kemapanan sampai stigma makar mudah dikeluarkan oleh aparat keamanan, sebagai bukti takut pada bayang-bayang sendiri. Semua secara sadar terjebak pada hutang jasa.

Langkah catur politik Nusantara tak akan lepas dari bentuk janagkauan komunikasi, koordinasi, kendali, tidak hanya dari negara adidaya saja, tetapi dari negara super sahabat, negara raksasa. Yang disebut belakang tadi, sudah terbukti historis dua kali jadi sponsor pemakar. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar