sikap réprésif pemerintah, tanda
lemah diri vs sarat beban sponsor
Kiasan “lain ladang, lain belalang” bisa diterapkan di
periode pemerintah NKRI. Khususnya pasca reformasi yang bergulir dri puncaknya,
21 Mei 1998. Masuk akal jika “beda pemerintah, beda kebijakan”.
Ketahanan politik dalam
negeri, buah dari efek domino negara multipartai, diperparah sikap politik
antar penyelenggara negara, semakin menambah gonjang-ganjing panggung politik
Nusantara.
Pemerintah lebih
mengandalkan kinerja ucap, saling silang pendapat antar pejabat, ketimbang
prestasi sesuai program/kegiatan lima tahun. Media massa ambil keuntungan dalam
kemelut, dengan membersar-besarkan kejadian perkara sebenarnya sampai tyang
ulang dengan berbagai bumbu provokatif. Tidak sekedar membodohi permirsa,
sekaligus potensial sebagai sarana adu domba, tebar fitnah. Berita bohong
menjadi produk unggulan sampai produk sampingan.
Diyakini bersama, persatuan
dan kesatuan, menjadi daya rekat bangsa sekaligus potensi retak bangsa. Ikatan moral
secara ideologis semakin nyata tidak terjalin. Sejak ada oposisi setengah hati,
oposisi banci sampai partai tidak siap menang dalam pesta demokrasi.
Daya kritis rakyat,
penduduk, warga negara dianggap sebagai ancaman. Stigma gerakan radikal anti
kemapanan sampai stigma makar mudah dikeluarkan oleh aparat keamanan, sebagai
bukti takut pada bayang-bayang sendiri. Semua secara sadar terjebak pada hutang
jasa.
Langkah catur politik
Nusantara tak akan lepas dari bentuk janagkauan komunikasi, koordinasi,
kendali, tidak hanya dari negara adidaya saja, tetapi dari negara super
sahabat, negara raksasa. Yang disebut belakang tadi, sudah terbukti historis dua
kali jadi sponsor pemakar. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar