ketika negara pura-pura sibuk
Kendati periode
pemerintah 2014-2019 mempunyai andalan program/kegiatan sebagai terjemahan
nyata Trisakti dan Nawa Cita, serta dipoles dengan ramuan ajaib revolusi
mental, jangan heran masih dan malah terjadi kesibukkan luar biasa. Kesibukan di
luar skenario. Bukan! Justru karena asas taat, tunduk, patuh, loyal pada skenario
yang lebih besar.
Skenario dari negara
yang lebih besar lebih banyak populasinya daripada NKRI. Selain ada negara
adidaya, berlaku pula hukum rimba di dunia persilatan. Ahli silat lidah orang
Indonesia masih dipagari dengan norma. Makanya, ahli silat lidah yang fasih
menistakan agama, dari kalangan yang melegalkan segala pasal. Diperkuat dengan
ujaran penistaan, umbaran bego melalui pidato resmi partai politik.
Pemerintah sibuk mencari
bayang-bayang sendiri di bawah bayang-bayang negara tirai bambu. Nyonya dan
tuan besar, bak juragan tanah merah, tampil dengan gagah dan girangnya. Mereka tak
peduli dengan sejarah kelam masa lalu dan dengan sadar diri sengaja
mengulangnya.
Ironis binti tragis
binti miris, jika masih ada pejabat yang pasang badan melawan “musuh negara”. Diyakini
bersama, benang merah antar pemerintah adalah adanya musuh rakyat adalah
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Karena wewenang untuk memberantas
kemiskinan ada di tangan daerah yang
langsung berhubungan dengan penduduknya, maka tugas pemerintah adalah tinggal
menikmati kue nasional.
Paradoksalnya negara
multipartai, adalah munculnya oknum ketua umum dengan wajah menghiba-hiba. Diimbangi
oleh lawan jenis dengan raut muka pemain watak pengharu rasa. Inilah efek
pendidikan politik praktis. Keterbelakangan mental kawanan parpolis yang sedang
mabuk kemenangan, semakin menjadikan bangsa ini siap dijadikan budak negara
asing, aneh, ajaib. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar