Halaman

Senin, 06 Februari 2017

ketika negara pura-pura sibuk



ketika negara pura-pura sibuk

Kendati periode pemerintah 2014-2019 mempunyai andalan program/kegiatan sebagai terjemahan nyata Trisakti dan Nawa Cita, serta dipoles dengan ramuan ajaib revolusi mental, jangan heran masih dan malah terjadi kesibukkan luar biasa. Kesibukan di luar skenario. Bukan! Justru karena asas taat, tunduk, patuh, loyal pada skenario yang lebih besar.

Skenario dari negara yang lebih besar lebih banyak populasinya daripada NKRI. Selain ada negara adidaya, berlaku pula hukum rimba di dunia persilatan. Ahli silat lidah orang Indonesia masih dipagari dengan norma. Makanya, ahli silat lidah yang fasih menistakan agama, dari kalangan yang melegalkan segala pasal. Diperkuat dengan ujaran penistaan, umbaran bego melalui pidato resmi partai politik.

Pemerintah sibuk mencari bayang-bayang sendiri di bawah bayang-bayang negara tirai bambu. Nyonya dan tuan besar, bak juragan tanah merah, tampil dengan gagah dan girangnya. Mereka tak peduli dengan sejarah kelam masa lalu dan dengan sadar diri sengaja mengulangnya.

Ironis binti tragis binti miris, jika masih ada pejabat yang pasang badan melawan “musuh negara”. Diyakini bersama, benang merah antar pemerintah adalah adanya musuh rakyat adalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Karena wewenang untuk memberantas kemiskinan  ada di tangan daerah yang langsung berhubungan dengan penduduknya, maka tugas pemerintah adalah tinggal menikmati kue nasional.

Paradoksalnya negara multipartai, adalah munculnya oknum ketua umum dengan wajah menghiba-hiba. Diimbangi oleh lawan jenis dengan raut muka pemain watak pengharu rasa. Inilah efek pendidikan politik praktis. Keterbelakangan mental kawanan parpolis yang sedang mabuk kemenangan, semakin menjadikan bangsa ini siap dijadikan budak negara asing, aneh, ajaib. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar