doa harian rakyat, agar esok hujan merata
Rakyat yang mengandalkan mata pencahariannya dari
kemurahan alam, mereka pada umumnya percaya pada pranata mangsa. Karena kebutuhan pada potensi alam yang berbeda,
ada yang berharap hujan dan ada yang berharap sebaliknya. Kemampuan rakyat pada
umumnya ketika membaca alam, ayat kauniyah, menjadikan dirinya arif dalam
berpikir, berucap dan bertindak.
Sejak zaman penjajahan Belanda/VOC sampai periode
2014-2019, bagaimana status, peran, posisi dan kedudukannya dalam konstélasi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, seolah
nyaris statis. Di sana sini memang ada kemajuan peradaban atau kemampuan diri menyesuaikan
diri menjawab tantangan zaman. Prinsip sederhananya adalah ikut arus tetapi
tidak terbawa arus.
Paguyuban, kerukunan atau bentuk sederhana dan mendasar dari persatuan dan
kesatuan, karena ikatan teritorial, domisili, adat istiadat, kesamaan profesi
menjadikan rakyat tetap dalam koridornya. Tidak terkotak-kotak karena
kepentingan individu. Sejak asas ‘sama rasa sama rata’ didengungkan oleh PKI,
menjadi revolusi agrarian dengan segala efek dominonya.
Perebutan kekuasaan secara konstitusional antar elit partai, tidak sekedar
berebut ‘kue nasional’. Semangat nasionalisme diterjemahkan nyata sebagai
semangat otonomi daerah, agar mata rantai birokrasi lebih berdaya guna dan
berhasil guna. ‘Kue daerah’ semangkin menggiurkan dan membangkitkan selera
politik. Penguasa lokal, sampai tingkat desa, menjadikan ruang gerak rakyat
menjadi dinamis, fluktuatif.
Rakyat bisa jadi tabung reaksi dari berbagai kebijakan pemerintah maupun
kebijakan pemerintah kabupaten/pemerintah kota. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar