membangun Indonesia
dari pinggiran atau memperkuat ketahanan keluarga
Ayo kawan, kita pura-puranya omong politik tingkat awang-awang.
Coba simak narasi ini : Untuk
menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat
secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan, dirumuskan sembilan agenda prioritas dalam pemerintahan ke depan.
Kesembilan agenda prioritas itu disebut NAWA CITA.
1.
Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap
bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara.
2.
Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata
kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
3.
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
4.
Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi
sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
5.
Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
6.
Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar
Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama
bangsa-bangsa Asia lainnya.
7.
Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
8.
Melakukan revolusi karakter bangsa.
9.
Memperteguh kebhineka-an dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia.
Tidak ada yang aneh apalagi
salah di gubahan bahasa politik Nawa Cita versi Jokowi-JK sebagai bahan
kampanye pilpres 2014 dan dirumuskan resmi di RPJMN 2015-2019.
Loncatan kata antar
cita terasa dinamis dan melegakan. Seolah semua persoalan bangsa akan
dituntaskan. Tepatnya sebagai keterpaduan semua ramuan, resep, racikan, formula
pembangunan manusia seutuhnya.
Landasan pembangunan
yang nyaris merangkum semua calon potensi yang ada di diri manusia Indonesia. Bahkan
akan disamakan dengan bangsa-bangsa Asia lainnya. Terasa nuansa patriotisme cinta
tanah air, bela negara. Revolusi karakter bangsa diharapkan akan mampu
mewujudkan Indonesia satu.
Namanya gubahan
bahasa politik, terlalu jauh menerawang dan melebarkan sayap angan-angan
politik. Akhirnya di mana kita berpijak, malah luput dari kemasan politik
pemerintah.
Isu SARA yang menjadi
andalan kaum minoritas agar tidak zalim dan laimnya menjadi resmi, legal dan
dilindungi undang-undang. Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan
internasional, khususnya negara super raksasa penyandang dana. Yang telah jelas
jasanya bagi memerahkan sang dwiwarna Merah-Putih.
Ekonomi rakyat adalah
ekonomi urusan perut sehari-hari. Jauh dari asas ekonomi tujuh turunan yang
menyuburkan laku korupsi. Kebutuhan menggugah cita rasa dan goyang lidah lidah,
lewat bumbu dapur, menjadikan ketahanan pangan keluarga sebagai pondasi negara
makmur berkesejahteraan.
Indikasi keluarga
sejahtera lahir batin, bisa dilacak semakin meningkatkan lapisan masyarakat
yang terkena sasaran pengampunan pajak.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar