ahli nista berhadiah, mulai ujaran kebencian sampai pidato umbar bego
ndilalah kersaning Allah, reaksi orang atau wong Jawa
menyikapi realita kehidupan. Menerima kejadian apapun yang menimpa dirinya,
diterima dengan rasa ikhlas. Yakin semua peristiwa merupakan ketentuan dan
ketetapan dari sing nggawé urip, sing nduwé urip. Jangan anggap wong ndéso isane gur nrimo
ing pandum. Bukannya tanpa usaha atau sekedar menerima hasil,
bagian, rezeki apa adanya. Ingat semboyan, filosofi kehidupan : sepi ing
pamrih, ramé ing gawé.
Mau buka mulut, ada aturan sederhana. Mau bicara, dengan sesama
atau bahkan ke yang lebih tua, yang dituakan, maupun pejabat ada pakem, kode
etik. Bahasa Jawa memang ada tingkatannya sesuai peruntukannya, pengunaannya. Bilamana
perlu, saat bicara dimbangi dengan bahasa tubuh, ekspresi wajah.
Kalau bicara ada batasannya, misal ojo ngotot mengko ototé iso pedot. Bicara dengan suara yang enak
didengar. Tidak perlu teriak bersuara lantang seperti di tengah sawah. Ngomong yo ngomong, ojo mbengok, ora ilok.
Ingat, yang diajak bicara nduwé kuping, ora
budeg.
Justru zaman bebas
mengeluarkan pendapat dan meraup pendapatan sebesar-besarnya, orang bebas
bicara, bebas berujar, bebas berorasi. Bukan hanya tanpa pikir panjang, seolah
tanpa diolah oleh otak dan nurani, karena juga hati dan telinganya tuli. Coba tanya
ke ahli THT. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar