toleransi (hak) politik 2024, ular naik tangga vs rubuh-rubuh gedang
Membunyikan daripada politik Garuda Pancasila, akan lebih bunyi jika pakai bahasa binatang dan atau bahasa tumbuh-tumbuhan. Cocok di sepasang kuping anak bangsa turunan pribumi. Gampang diserap tuntas, mudah diperas apuh, ringan diresapi tak perlu mikir.
Bukannya tak peka, peduli, tanggap sasmita atas kejadian perkara di depan mata. Bukannya tak mau menolong, mengulurkan tangan, membantu. Bukannya tak punya sifat dan tenggang rasa sosial yang menjadi karakter bangsa pribumi. Yang “ditakuti” orang untuk berbuat baik di atas, karena takut malah jadi korban. Paling ringan malah dijadikan saksi mata, saksi hidup. Sikap aman adalah pura-pura tidak melihat, tidak dengar. Lagi sibuk dengan status yang lebih penting.
Partisipasi, peran serta, keikutsertaan, kepedulian rakyat tapak tanah terhadap gerakan politik tak diimbangi dengan sikap positif penguasa, penyelenggara negara. Suara rakyat dimanipulasi, direkayasa sesuai skenario multipihak berbasis asas demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan.
Yang jelas, bahwasanya wong bodho nanging sering nglakoni, luwih pinter
karo wong pinter nanging durung tau nglakoni. Artinya, walau akhirnya malah
berlangganan terperosok ke lubang yang sama, bukan sebagai bentuk
ke-“keledai”-an. Hanya diangap sebagai dinamika berpolitik tanpa ideologi. Lazim
jika anak garuda tidak bisa menjadi garuda seutuhnya. Karena dalam babakan durung
tau nglakoni diwujudkan menjadi merasa sudah bisa atau merasa bisa menjadi
garuda sejati. Merasa lebih garuda ketimbang garuda. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar