Halaman

Jumat, 07 Januari 2022

tenaga suncang mbokdé mukiyo, dudu daya guncang

 tenaga suncang mbokdé mukiyo, dudu daya guncang

 Terkisahkan, narasi  bebas. Sebutan Legal Drafter merujuk pada tenaga fungsional penyusun dan perancangan peraturan perundang-undangan (tenaga suncang) yang bertugas di pemerintahan.  Sedangkan, tenaga ahli yang bertugas membantu anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah menyusun Rancangan  Undang-Undang lazim disebut Legislative Drafter. Layak diingat bahwa tenaga suncang adalah mereka yang berlatar sarjana hukum.

 LEGISLATIVE DRAFTER

  10 August 2019, 18.56 Oleh: ferdinandus credo

 Jika di Kementerian Hukum dan HAM dikenal legal drafter atau tenaga suncang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga punya legislative drafter. Malah di DPR tenaga bantuan bisa datang dari tenaga ahli komisi, staf ahli anggota DPR, dan tenaga peneliti pada P3I (Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi) DPR. Melihat beragamnya tenaga ahli yang bisa dimanfaatkan anggota Dewan, maka patut dipertanyakan mengapa kinerja legislasi DPR merosot.

UUD 1945 memberikan kekuasaan membentuk Undang-Undang kepada DPR. Dalam proses pembentukan Undang-Undang itu, DPR perlu membuat persetujuan bersama agar suatu Rancangan Undang-Undang bisa disahkan menjadi Undang-Undang. Pada saat masih menjadi rancangan atau berupa draft mentah itulah anggota DPR membutuhkan keahlian tenaga penyusun perundang-undangan. Sebab, tak semua anggota Dewan punya keahlian teknis membentuk Undang-Undang. Bukan hanya tak punya keahlian dari sisi formalitas, tetapi adakalanya juga tak memahami substansi.

Penggodokan suatu RUU pada dasarnya dilakukan di salah satu alat kelengkapan DPR, disebut Badan Legislasi (Baleg). Sesuai Undang-Undang No. 27 Tahun 2009, badan ini dibentuk untuk menjalankan fungsi legislasi. Dari sini, naskah RUU didistribusikan ke Panja atau Pansus yang mendapat amanat untuk membahasnya. Dalam proses pembahasan, DPR duduk bersama dengan wakil Pemerintah. Di sini tampak hubungan yang tidak seimbang. Wakil Pemerintah biasanya didampingi puluhan staf, termasuk orang biro hukum. Sebaliknya, anggota DPR hanya diback-up seorang tenaga ahli. Itu pun belum tentu ikut mendampingi anggota Dewan. Akibatnya, dalam proses pembahasan RUU, anggota DPR sering tak bisa menggali lebih mendalam isu tertentu. Anggota DPR hanya manggut mendengar penjelasan Pemerintah.

Dalam peluncuran bukunya ‘Pergeseran Fungsi Legislasi’, Prof. Saldi Isra menyinggung pentingnya mengoptimalkan fungsi legislasi DPR, termasuk mendorong kehadiran tenaga ahli perundang-undangan yang berkualitas. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas menilai fungsi DPR tak maksimal. Karena itu, ia meminta dilakukan purifikasi legislasi. Minimnya tenaga ahli berpengaruh pada output perundang-undangan, bukan hanya pada jumlah tetapi juga pada kualitas.

Sebenarnya sejak 2008 silam, setiap anggota DPR sudah mendapatkan seorang tenaga ahli. Namun jumlah ini dirasakan masih kurang. Sebab, satu Komisi DPR membidangi beberapa mitra kerja. Komisi III bermitra dengan Polri, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial dan PPATK. Atau, Komisi II bukan hanya mengurusi pemilu, tetapi juga pertanahan dan administrasi negara. Dengan hitung-hitungan ini, seorang anggota DPR mengatakan butuh 3-6 tenaga ahli. Bandingkan dengan anggota Senat di Amerika Serikat yang dibantu puluhan staf.

(https://lcdc.law.ugm.ac.id/profesi-hukum/legislative-drafter/)

 Agar jangan sampai kurang paham, gagal paham maupun paham-pahaman. Simak sejenak:

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor 23 tahun  2021 tentang Pengelolaan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan. Fokus mata tatap:    

 BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.       Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan  yang selanjutnya disebut Jabatan Fungsional  Perancang adalah jabatan yang mempunyai tugas,  tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh  pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan  pembentukan peraturan perundang-undangan dan  penyusunan instrumen hukum lainnya pada instansi  pemerintah pusat dan instansi pemerintah daerah. 

2.       Perancang Peraturan Perundang-undangan yang  selanjutnya disebut Perancang adalah pegawai negeri sipil yang telah diangkat dalam Jabatan Fungsional  Perancang yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang,  dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang  untuk melakukan kegiatan pembentukan peraturan  perundang-undangan dan penyusunan instrument hukum lainnya.

 .  .  .  .  .

Jadi  .  .  .   [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar