postur ideologi Nusantara, muka seribu vs evolusi mukiyo
Indonesia belum
Indonesia namanya, jika setiap desa, kelurahan atau sebutan lainnya, belum
mempunyai partai politik sendiri. Pasal 1 angka 1, UU 6/2014 tentang DESA,
menjelaskan :
Desa
adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Jangan diartikan, banyak
kata kunci yang bisa dimanfaatkan sedemikian rupa, khususnya makna dari otonomi
desa.
Kita tidak tahu persis,
sejak pra-proklamasi, proklamasi 17-8-1945 sampai pasca proklamasi hingga olah
kata ini ditulis, sudahkan cita-cita partai politik tercapai dengan jujur, baik,
benar dan berkesejahteraan.
Parpol yang masih eksis,
masih dalam periode tayang 2014-2019, masih tetap seperti yang rakyat harapkan.
Koalisi parpol yang pro-pemerintah dengan koalisi parpol yang pro demokrasi,
semangkin menjadikan postur parpol Nusantara, sarat dengan kepala yang bukan
untuk memikirkan kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Sepak terjang, modus
operandi parpol penyelenggara negara, diibaratkan sebagai makhluk pemakan segala,
berkeliaran bebas sampai ujung, pojok Nusantara. Kita juga tidak tahu nyatanya scenario
apa, skenario siapa yang mereka jadikan acuan. Loncatan politik Joko Widodo
membawa efek domino bagi kesatuan dan persatuan Indonesia. Ibukota negara
dijadikan tabung reaksi, tabung uji coba. Reklamasi pantura Jakarta sebagai
perwujudan kawasan pecinan berwawasan Indonesia emas. Opo tumon.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar