ketika cinta tanpa gigi
Entah kapan
munculnya, tiba-tiba saja di kompleks kami ada sosok pemuda yang dimana saja
ada. Tampilan busana serba biru, lebih rapih dibanding tukang ojek yang
jaketnya tak jelas lagi warnanya. Info ala
kadarnya, sang pemuda yang masih tampak normal secara politis, ternyata masih
mampu dan bisa tersenyum, tepatnya senyum-senyum, ke lawan jenisnya.
Kalau dilacak,
di jalanan, di lokasi mangkal anak manusia, tak kenal waktu mereka berkumpul
hanya sekedar menghabiskan waktu. Ironisnya, kebanyakan dari mereka bukan warga
kompleks. Mulai anak bercelana pendek sampai orang yang panjang angan-angan.
Kondisi ini
tidak bisa dibandingkan dengan oknum anak bangsa, yang kenyang makan asam garam
politik warisan, merasa bangga, merasa tersanjung, merasa sebagai pusat
perhatian, karena berada semeja dengan orang-orang asing, aneh yang kelakuannya
bak pemain watak klas dunia. Terjadi politik barter negara ke negara asing
dengan jabatan tertentu.
Patung tugu “selamat
datang” di Jakarta, bisa melambangkan sekarang selamat datang penjajah baru. Jakarta
ibu kota NKRI sebagai transit utama. Banyak adegan, atraksi, acara yang luput
dari liputan media massa. Aroma irama saling silang, dengan agenda ganda,
agenda ganda campuran. Jauh dari norma agama, karena namanya politik wajib
menghalalkan segal cara.
Di luar,
berbaris nenek-nenek yang mendukung gerakan emansipasi perempuan, semangat
teriak tanpa komando : “meganya, meganya, meganya …”. Ki dalang dengan cekatan mbolak-mbalik wayang kulit Betari Durga,
sambil mulut komat-kamit. Sekian. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar