Halaman

Kamis, 22 September 2016

ketika cinta tanpa gigi



ketika cinta tanpa gigi

Entah kapan munculnya, tiba-tiba saja di kompleks kami ada sosok pemuda yang dimana saja ada. Tampilan busana serba biru, lebih rapih dibanding tukang ojek yang jaketnya  tak jelas lagi warnanya. Info ala kadarnya, sang pemuda yang masih tampak normal secara politis, ternyata masih mampu dan bisa tersenyum, tepatnya senyum-senyum, ke lawan jenisnya.

Kalau dilacak, di jalanan, di lokasi mangkal anak manusia, tak kenal waktu mereka berkumpul hanya sekedar menghabiskan waktu. Ironisnya, kebanyakan dari mereka bukan warga kompleks. Mulai anak bercelana pendek sampai orang yang panjang angan-angan.

Kondisi ini tidak bisa dibandingkan dengan oknum anak bangsa, yang kenyang makan asam garam politik warisan, merasa bangga, merasa tersanjung, merasa sebagai pusat perhatian, karena berada semeja dengan orang-orang asing, aneh yang kelakuannya bak pemain watak klas dunia. Terjadi politik barter negara ke negara asing dengan jabatan tertentu.

Patung tugu “selamat datang” di Jakarta, bisa melambangkan sekarang selamat datang penjajah baru. Jakarta ibu kota NKRI sebagai transit utama. Banyak adegan, atraksi, acara yang luput dari liputan media massa. Aroma irama saling silang, dengan agenda ganda, agenda ganda campuran. Jauh dari norma agama, karena namanya politik wajib menghalalkan segal cara.

Di luar, berbaris nenek-nenek yang mendukung gerakan emansipasi perempuan, semangat teriak tanpa komando : “meganya, meganya, meganya …”. Ki dalang dengan cekatan mbolak-mbalik wayang kulit Betari Durga, sambil mulut komat-kamit. Sekian.  [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar