ketika Indonesia kesandhung ing roto, kejedug ing tawang
Tak perlu dilakukan dengar pendapat dengan publik, apalagi
jajag pendapat dengan wisatawan atau turis Cina yang ditargetkan melebihi
penduduk Jakarta di era Jokowi-JK, nyatanya bangsa dan rakyat Indonesia seperti
satu irama saat menyikapi berbagai kejadian perkara di depan mata.
Sikap “nrimo ing pandum” yang ditularkan sang presiden RI yang berlatar
belakang atau kebon sebagai wong Jawa, menjadikan masyarakat menyadari bahwa
proses kehidupan sesuai hukum sebab-akibat. Dilarang protes kepada sang
penguasa negara. Berbagai kejadian peristiwa bisa berjalan bersamaan pada waktu
dan tempat yang sama, atau waktu yang sama tetapi tempat berbeda. Kalau langganan
bencana, terjadi di tempat yang sama namun beda waktu. Wolak-waliking zaman mbah!
Namun ketika darah ideologi atau roh politik
menguasai jiwa raga anak bangsa, ceritanya jadi lain dan berbeda. Ada yang
menolak asas “Lali Marang
Sangkan Paraning Dumadi, Bakal Ngunduh Wohing Pakarti”. Karena di kamus politik Nusantara tidak ada dan tidak kenal istilah
haram dan halal. Yang ada adalah wajib loyal, patuh, taat, tunduk pada kebijakan
partai. Nasib elit partai, kader partai, penggembira, relawan, bolo dupak,
cecenguk ditangan hak prerogatif oknum ketua umum partai, sang juragan politik. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar