Halaman

Minggu, 25 September 2016

ketika Indonesia kesandhung ing roto, kejedug ing tawang



ketika Indonesia kesandhung ing roto, kejedug ing tawang

Tak perlu dilakukan dengar pendapat dengan publik, apalagi jajag pendapat dengan wisatawan atau turis Cina yang ditargetkan melebihi penduduk Jakarta di era Jokowi-JK, nyatanya bangsa dan rakyat Indonesia seperti satu irama saat menyikapi berbagai kejadian perkara di depan mata.

Sikap “nrimo ing pandum” yang ditularkan sang presiden RI yang berlatar belakang atau kebon sebagai wong Jawa, menjadikan masyarakat menyadari bahwa proses kehidupan sesuai hukum sebab-akibat. Dilarang protes kepada sang penguasa negara. Berbagai kejadian peristiwa bisa berjalan bersamaan pada waktu dan tempat yang sama, atau waktu yang sama tetapi tempat berbeda. Kalau langganan bencana, terjadi di tempat yang sama namun beda waktu. Wolak-waliking zaman mbah!

Namun ketika darah ideologi atau roh politik menguasai jiwa raga anak bangsa, ceritanya jadi lain dan berbeda. Ada yang menolak asas “Lali Marang Sangkan Paraning Dumadi, Bakal Ngunduh Wohing Pakarti”. Karena di kamus politik Nusantara tidak ada dan tidak kenal istilah haram dan halal. Yang ada adalah wajib loyal, patuh, taat, tunduk pada kebijakan partai. Nasib elit partai, kader partai, penggembira, relawan, bolo dupak, cecenguk ditangan hak prerogatif oknum ketua umum partai, sang juragan politik. Opo tumon. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar