Ketika Bahasa Politik Menjadi Panglima
Seperti kehendak sejarah,
apapun bisa terjadi diperiode 2014-2019. Semua yang akan terjadi sudah terendus
sejak pesta demokrasi 2014. Katakan, semua kejadian peristiwa sebagai dampak dan
efek berantai akibat pemenang pemilu legislatif rabu 9 Juli 2014, yang tidak
siap menang dan tidak punya kader yang siap maju di pilpres rabu 9 Juli 2014. Berbagai
episode politis terjadi yang secara awam pun sudah bisa diduga sebelumnya. Efek
domino dari politik transaksional. Lahirlah koalisi banci, koalisi aba-abal yang
tergantung angin politik 2019.
Joko Widodo yang belum
jatuh tempo kontrak politik lima tahun menjadi gubernur DKI Jakarta, sesuai
semboyan adat Jawa “tinggal glanggang,
colong playu”, lebih tergoda, tergiur melihat jabatan yang lebih tinggi
sebagai kepala negara, dipastikan meninggalkan bom waktu politik. Bom waktu
politik bagi Jakarta tentu berimbas besar ke tatanan hidup berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat. Bom waktunya tidak sekedar dosa politik yang menjadi sejarah
hitam Nusantara.
Tidak hanya kasus reklamasi
pantai utara Jakarta atau memang primadona dosa politik penerus Jokowi sebagai
gubernur DKI Jakarta. Seperti di pembuka, bahwasanya pelaku ekonomi skala dunia
yang ada di Indonesia, nyata-nyata mampu melakukan komunikasi, koordinasi dan
kendali dengan pelaku politik Nusantara. Jokowi-JK dibantu punggawa kabinet kerja,
hanya siap menjalankan perintah. Tak heran, jika Jakarta dikenal sebagai kota
multikasus. Asal jangan diklaim sebagai pusat dan awal titik
retak persatuan dan kesatuan nasional. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar