Halaman

Jumat, 16 September 2016

Ketika Bahasa Politik Menjadi Panglima



Ketika Bahasa Politik Menjadi Panglima

Seperti kehendak sejarah, apapun bisa terjadi diperiode 2014-2019. Semua yang akan terjadi sudah terendus sejak pesta demokrasi 2014. Katakan, semua kejadian peristiwa sebagai dampak dan efek berantai akibat pemenang pemilu legislatif rabu 9 Juli 2014, yang tidak siap menang dan tidak punya kader yang siap maju di pilpres rabu 9 Juli 2014. Berbagai episode politis terjadi yang secara awam pun sudah bisa diduga sebelumnya. Efek domino dari politik transaksional. Lahirlah koalisi banci, koalisi aba-abal yang tergantung angin politik 2019.

Joko Widodo yang belum jatuh tempo kontrak politik lima tahun menjadi gubernur DKI Jakarta, sesuai semboyan adat Jawa “tinggal glanggang, colong playu”, lebih tergoda, tergiur melihat jabatan yang lebih tinggi sebagai kepala negara, dipastikan meninggalkan bom waktu politik. Bom waktu politik bagi Jakarta tentu berimbas besar ke tatanan hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Bom waktunya tidak sekedar dosa politik yang menjadi sejarah hitam Nusantara.

Tidak hanya kasus reklamasi pantai utara Jakarta atau memang primadona dosa politik penerus Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta. Seperti di pembuka, bahwasanya pelaku ekonomi skala dunia yang ada di Indonesia, nyata-nyata mampu melakukan komunikasi, koordinasi dan kendali dengan pelaku politik Nusantara. Jokowi-JK dibantu punggawa kabinet kerja, hanya siap menjalankan perintah. Tak heran, jika Jakarta dikenal sebagai kota multikasus. Asal jangan diklaim sebagai pusat dan awal titik retak persatuan dan kesatuan nasional.  Opo tumon. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar