peradaban demokrasi Nusantara di tangan generasi
pemilih pemula
Betul kawan. Ideologi
Nusantara yang dipraktikkan oleh kawanan parpolis merupakan fungsi rupiah. Artinya,
uang sebagai baban bakar utama mesin politik sekaligus sebagai tujuan utama dan
pertama perjuangan politik anak bangsa.
Sejarah pesta demokrasi
sejak 1955, denyut kampanye mengalir, mengerucut ke arah membuktikan bahwa
mazhab “hamba uang” yang akan gemilang. Sejak zaman Orde Baru, karpet merah
digelar menyambut tamu agung, yang serba merah. Presiden yang sudah berkuasa
pun masih butuh sentuhan tangan asing, aneh, ajaib.
Sejauh ini bangsa
Indonesia dininabobokan oleh fenomena politik yang tampak sakral. Perjalanan waktu,
dengan masih banyaknya anak bangsa yang peduli nasib bangsa, apa yang selama
ini dilindungi dalih konsistensi, menjadi terang benderang.
Bukan salah bunda
mengandung kawan. Wajar, yang ditakuti oleh umat manusia di muka bumi ini
adalah kemiskinan, kelaparan. Bagi yang cerdas politik, melek politik, yang
ditakuti cuma eksistensinya tidak diakui. Jangan heran, di negara yang selalu
sedang berkembang, ulah politik mantan kepala negara, kepala pemerintahan,
presiden atau sebutan lainnya, menimbulkan gelombang alergi politik.
Mewariskan ideologi ke
anak cucu, sah-sah saja. Tentu karena diikuti dengan rekam jejak di atas
rata-rata.
Debat kampanye bakal
calon, khususnya jabatan publik, seperti wajib dilakukan. Demokrasi terjegal
pasal politik. Ini yang menjadikan kalkulasi politik di atas kertas
menghalalkan segala cara. Ini lagu lama yang selalu dikemas ulang.
Nasib pemilih pemula,
seolah menjadi asset semua pihak yang mendadak peduli dan mempunyai kepentingan
sesaat saja. Modus operandi menggadang, menimang calon pemilih pemula sampai
kaderisasi. Sistem perkawanan atau getok
tular, cara ampuh, jitu, mujarab untuk menggaet minat generasi pemilih
pemula.
Memang, generasi masa
depan ada yang steril atau bahkan alergi politik. Akibat tayangan dagelan
politik yangmenjadi andalan media penyiaran TV. Diperparah bebas ujar, bebas
cuap, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Ironis binti miris,
antar penyelenggara negara malah pamer adu kuat. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar