Halaman

Kamis, 29 September 2016

peradaban demokrasi Nusantara di tangan generasi pemilih pemula



peradaban demokrasi Nusantara di tangan generasi pemilih pemula


Betul kawan. Ideologi Nusantara yang dipraktikkan oleh kawanan parpolis merupakan fungsi rupiah. Artinya, uang sebagai baban bakar utama mesin politik sekaligus sebagai tujuan utama dan pertama perjuangan politik anak bangsa.

Sejarah pesta demokrasi sejak 1955, denyut kampanye mengalir, mengerucut ke arah membuktikan bahwa mazhab “hamba uang” yang akan gemilang. Sejak zaman Orde Baru, karpet merah digelar menyambut tamu agung, yang serba merah. Presiden yang sudah berkuasa pun masih butuh sentuhan tangan asing, aneh, ajaib.

Sejauh ini bangsa Indonesia dininabobokan oleh fenomena politik yang tampak sakral. Perjalanan waktu, dengan masih banyaknya anak bangsa yang peduli nasib bangsa, apa yang selama ini dilindungi dalih konsistensi, menjadi terang benderang.

Bukan salah bunda mengandung kawan. Wajar, yang ditakuti oleh umat manusia di muka bumi ini adalah kemiskinan, kelaparan. Bagi yang cerdas politik, melek politik, yang ditakuti cuma eksistensinya tidak diakui. Jangan heran, di negara yang selalu sedang berkembang, ulah politik mantan kepala negara, kepala pemerintahan, presiden atau sebutan lainnya, menimbulkan gelombang alergi politik.

Mewariskan ideologi ke anak cucu, sah-sah saja. Tentu karena diikuti dengan rekam jejak di atas rata-rata.

Debat kampanye bakal calon, khususnya jabatan publik, seperti wajib dilakukan. Demokrasi terjegal pasal politik. Ini yang menjadikan kalkulasi politik di atas kertas menghalalkan segala cara. Ini lagu lama yang selalu dikemas ulang.

Nasib pemilih pemula, seolah menjadi asset semua pihak yang mendadak peduli dan mempunyai kepentingan sesaat saja. Modus operandi menggadang, menimang calon pemilih pemula sampai kaderisasi. Sistem perkawanan atau getok tular, cara ampuh, jitu, mujarab untuk menggaet minat generasi pemilih pemula.

Memang, generasi masa depan ada yang steril atau bahkan alergi politik. Akibat tayangan dagelan politik yangmenjadi andalan media penyiaran TV. Diperparah bebas ujar, bebas cuap, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Ironis binti miris, antar penyelenggara negara malah pamer adu kuat. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar