kawasan pecinan Nusantara, loyalis ganda campuran vs evolusi mukiyo
Namanya saja Indonesia,
musim kesenjangan sosial hanya sekedar pemanis pemerintahan. Akan diikuti
berbagai jenis kesenjangan lainnya. Kesenjangan politik ada dua versi. Versi
nasional, malah melahirkan dinasti politik, parpol menjadi perusahaan keluarga,
merasa negara sebagai warisan moyang, parpol pemenang pesta demokrasi otomatis
jadi penguasa negara serta seabreg ajang pamer bego berbasis buta dan atau
melek politik para pelaku, pemain, pekerja politik.
Versi mancanegara,
global, mendunia, nasib percaturan politik Nusantara tergantung kebijakan
pelaku ekonomi. Konspirasi ekonom klas dunia, mampu mendikte langkah strategis
politik Nusantara. Secara konstitusional, formal, legal, Indonesia di bawah
koordinasi, komunikasi, kendali pemain politik dari negara berpopulasi
terbanyak di dunia.
Jangan lupa, terjadi
kesenjangan akibat pembangunan nasional yang merata. Menghasilkan atau efek
samping atau produk sampingan berupa provinsi kaya dengan penduduk miskin. Perkecualian,
kepala daerah rupiahnya melimpah ruah, apakah gubernur atau bupati/walikota, di
kutub lain kepala keluarga bekerja 24 jam sehari, banting tulang, peras
keringat, adu otot, mati-matian bahkan ada yang mati betulan, berdarah-darah,
hanya untuk makan sehari. Rakyat berbasis ekonomi sehari, sedangkan yang bukan
rakyat menerapkan dan mempraktikkan asas ekonomi tujuh turunan.
Yang bikin mati miris,
karena umat Islam jika sibuk berkubang di panggung politik, gairah bersepak
terjang bermain ideologi mendadak lupa semangat ukuwah, semangat persatuan dan
kesatuan umat. Tak terkecuali apapun wadahnya, entah itu parpol berlabel Islam
utawa organisasi kemasyarakat berbasis ajaran agama Islam semacam Muhammadiyah,
NU. Sami mawon.
Yang melek politik
menduga bahwa partai politik bak lampu Aladin, jika digosok, tanpa disogok,
keluar jin yang siap menjalankan perintah, siap memberi apapun permintaan sang
juragan. Jabatan ketua umum partai sangat prestisius, menjanjikan dan prospektus.
Meraih menjadi ketum parpol serasa lebih berat daripada merebut kursi kepala
negara.
Ironis bin tragis,
benang merah jiwa parpol antar periode pemerintahan, didominasi “benang merah”.
Sejak PKI dua kali makar, september 1948 dan september 1965, ternyata “kaum
merah” malah menjadi bahaya laten yang digadang-gadang. Gerakan pemurtadan kalah
pamor dengan gaya sipitisme. Mereka tidak menampakkan rasa anti monotheis,
tetapi cukup menjadikan bangsa dan rakyat Indonesia sebagai budak di negeri
sendiri. Dari ujung jari sampai ujung rambut sudah terkontaminasi sejak doeloe
kala. Inilah lihainya si mata sipit, masuk ke semua sendi kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Memakai dalih pembauran, bangsa yang majemuk yang
serba multi, misal multireliji, multietnis, multikultural,
multimega, multipartai, multitega. . Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar