Halaman

Senin, 12 September 2016

kawasan pecinan Nusantara, loyalis ganda campuran vs evolusi mukiyo




kawasan pecinan Nusantara, loyalis ganda campuran vs evolusi mukiyo

Namanya saja Indonesia, musim kesenjangan sosial hanya sekedar pemanis pemerintahan. Akan diikuti berbagai jenis kesenjangan lainnya. Kesenjangan politik ada dua versi. Versi nasional, malah melahirkan dinasti politik, parpol menjadi perusahaan keluarga, merasa negara sebagai warisan moyang, parpol pemenang pesta demokrasi otomatis jadi penguasa negara serta seabreg ajang pamer bego berbasis buta dan atau melek politik para pelaku, pemain, pekerja politik.

Versi mancanegara, global, mendunia, nasib percaturan politik Nusantara tergantung kebijakan pelaku ekonomi. Konspirasi ekonom klas dunia, mampu mendikte langkah strategis politik Nusantara. Secara konstitusional, formal, legal, Indonesia di bawah koordinasi, komunikasi, kendali pemain politik dari negara berpopulasi terbanyak di dunia.

Jangan lupa, terjadi kesenjangan akibat pembangunan nasional yang merata. Menghasilkan atau efek samping atau produk sampingan berupa provinsi kaya dengan penduduk miskin. Perkecualian, kepala daerah rupiahnya melimpah ruah, apakah gubernur atau bupati/walikota, di kutub lain kepala keluarga bekerja 24 jam sehari, banting tulang, peras keringat, adu otot, mati-matian bahkan ada yang mati betulan, berdarah-darah, hanya untuk makan sehari. Rakyat berbasis ekonomi sehari, sedangkan yang bukan rakyat menerapkan dan mempraktikkan asas ekonomi tujuh turunan.

Yang bikin mati miris, karena umat Islam jika sibuk berkubang di panggung politik, gairah bersepak terjang bermain ideologi mendadak lupa semangat ukuwah, semangat persatuan dan kesatuan umat. Tak terkecuali apapun wadahnya, entah itu parpol berlabel Islam utawa organisasi kemasyarakat berbasis ajaran agama Islam semacam Muhammadiyah, NU. Sami mawon.

Yang melek politik menduga bahwa partai politik bak lampu Aladin, jika digosok, tanpa disogok, keluar jin yang siap menjalankan perintah, siap memberi apapun permintaan sang juragan. Jabatan ketua umum partai sangat prestisius, menjanjikan dan prospektus. Meraih menjadi ketum parpol serasa lebih berat daripada merebut kursi kepala negara.

Ironis bin tragis, benang merah jiwa parpol antar periode pemerintahan, didominasi “benang merah”. Sejak PKI dua kali makar, september 1948 dan september 1965, ternyata “kaum merah” malah menjadi bahaya laten yang digadang-gadang. Gerakan pemurtadan kalah pamor dengan gaya sipitisme. Mereka tidak menampakkan rasa anti monotheis, tetapi cukup menjadikan bangsa dan rakyat Indonesia sebagai budak di negeri sendiri. Dari ujung jari sampai ujung rambut sudah terkontaminasi sejak doeloe kala. Inilah lihainya si mata sipit, masuk ke semua sendi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Memakai dalih pembauran, bangsa yang majemuk yang serba multi, misal multireliji, multietnis, multikultural, multimega, multipartai, multitega. . Opo tumon. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar