Halaman

Senin, 26 September 2016

korbankan yang terbaik milikmu, tapi jangan NEGARA



korbankan yang terbaik milikmu, tapi jangan NEGARA

Kepercayaan primitif tentang animisme dan dinamisme, masih dianut oleh bangsa dan rakyat Indonesia. Dalih melestarikan budaya, adat istiadat lokal, norma kebidupan yang menyatu, bersahabat dengan alam dan ramah lingkungan, menjunjung tinggi warisan maupun wasiat leluhur, melestarikan dan meneruskan pengabdian nenek moyang serta mempraktikkan nilai-nilai Pancasila.

Konon, tutur wejang pimulang ki dalang Sobopawon, di era mégatéga, mégakasus, mégabencana 2014-2019 negara yang serba multi, tongkrongan dan tangkringan animisme maupun dinamisme mengalami perubahan bentuk yang sistemik, massif dan berkesinambungan. Hasil survei berbayar oleh lembaga survei tanpa survei, jajag pendapat dengan penggemar, penikmat, pegiat goro-goro, permintaan dan dominasi selera pasar, dengar pendapat dengan penguni entah berantah, maupun sesuai naskah akademis, disimpulkan secara aklamasi, versi manual, bahwa muncul gerakan atau kepercayaan animisme politik dan dinamisme politik. Opo tumon mbah! Mungkin bentuknya tak beda jauh, tak mirip tapi serupa dengan berhala reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat).

Animisme Politik merupakan sinerji, resultan dari berbagai aliran, paham, ideologi kepercayaan yang yakin diri bahwa roh mendiami semua benda, khususnya  Kursi sebagai lambang kekuasaan formal, legal, konstitusional. Kita tak perlu menyinggung kapling pemercaya tuah benda pusaka. Ciri pelaku, pekerja, pemain, pegiat animisme politik ditengarai getol dengan simbol dan lambing maupun atribut partai. Mereka menganggap bahwa bandar politik bak dewa pembagi rezeki. Minimal mendaulat sebagai manusai setengah dewa. Jangan heran jika seorang manusia menyandang gelar ketua umum partai, mempunyai hak prerogatif yang tidak bisa diganggu gugat maupun tanggung renteng. Sejarah politik Nusantara membuktikan bahwa roh ideologi bisa diwariskan kepada anak cucu melalui aliran darah. Jiwa raga sang penerima warisan siap berkorban, tepatnya siap mengorbankan, demi sukses politik, sukses duniawi yang dapat diukur, ditakar, ditimbang.

Dinamisme Politik merupakan rasa penuh percaya bahwa segala sesuatu, yang terlihat maupun  tak terendus indra pengelihatan, mempunyai tenaga, enerji daya yang dapat mempengaruhi bahkan menentukan nasib karir politik, keberhasilan atau kegagalan manusia dalam mempertahankan hak politiknya. Jiwa raga penganut ini suda terkontaminasi hukum sebab-akibat. Praktik politik transaksional, merupakan fungsi balas jasa, balas budi vs balas dendam berjalam dalam satui paker. Mahar politik, barter polkitik, rente politik atau bentuk lainnya yang ada dan berlaku khusus di kamus politik, menjadi syarat tak tertulis untuk sukses politik. Ironisnya, kawanan pemuja aliran ini sudah mengembangkan derajat syahwat politiknya. Tidak sekedar memuja dan memuji roh nenek moyangnya, kalau perlu mengimpor roh nenek moyang negara lain. Bukan menjadi ritual perorangan, tetapi sudah menjadi agenda terselubung partai. Tujuan utama agar roh asing mampu mendongkrak pamor politik, memuluskan karir politik.

Sebetulnya, masih banyak isi perut yang akan disampaikan ki dalang. Cuma waktu tayang mau habis. Kita istirahat sejenak. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar