Halaman

Jumat, 30 September 2016

aroma irama dendam politik, demokrasi Nusantara lari di tempat



aroma irama dendam politik, demokrasi Nusantara lari di tempat

Indonesia mencatat kisah sukses demokrasi ketika pasangan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat yang telah mempunyai hak pilih. Dipraktikkan semenjak tahun 2004, setiap lima tahun sekali. Apapun yang telah terjadi, terjadilah. Tidak perlu disesali tujuh turunan. Walau meninggalkan trauma politik. Tak terkecuali dendam politik arus atas maupun arus bawah ikut mewarnai dinamika kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat.

Salah banyak watak anak bangsa dan manusia Indonesia adalah gemar barang baru. Bahkan pelaku tindak pidana kejahatan, jika tertangkap tangan, mengaku baru pertama kali melakukan. Ikhwal frasa “baru” ini diterjemahkan lewat pasal pesta demokrasi. tersurat jabatan kepala negara, kepala daerah, wakil rakyat boleh menjabat dua periode berturut-turut. Terkesan, periode pertama, baru belajar. Kalau sudah jatuh tempo, bisa diperpanjang. Soal antrian di ineternal partai politik, memang itulah kejamnya ideolgi berbasis rupiah.

Karakter demokrasi Nusantara ditengarai dengan siapa yang memperoleh suara terbanyak, otomatis yang menang. Di sini titik lemahnya, semua serba otomatis. Menang di pemilu legislatif, otomatis jadi ketua parlemen. Jagonya juara pertama di pemilu presiden, otomatis mengusasi kursi pembantu presiden. Merasa berhak menjadikan demokrasi mayoritas sebagai awal titik retak penyelenggara negara.

Pasca Reformasi, 21 Mei 1998, terbukti tidak ada politisi (orang parpol) yang siap jadi pemimpin nasional. Bukan sekedar karena tidak ada pengkaderan di zaman Orde Baru atau pengkerdilan politisi liwat penyederhanaan jumlah partai. UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, menyederhanakan jumlah partai, mengatur hanya ada dua partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Pemain lama hanya mengandalkan menang merek, buka jati diri sebagai politisi sejati.

Walhasil, sehebatnya kadar politisi Indonesia, walau teruji pernak masuk skala nasional, bukan otomatis cikal bakal negarawan. Politisi yang sampai pucuk pimpinan di parpolnya, bukan jaminan mutu untuk dipromosikan ke sebagai negarawan. Ironis, ketua umum sebuah parpol yang sempat menjabat sebagai kepala negara tidak otomatis bergelar negarawan. Negarawan bukan karena jabatan, minimal perjuangan seumur hidup untuk nusa dan bangsa. Bukan sekedar membesarkan dan menghidupi partai.

Dampak politis, munculnya “politisi” non-sipil selama dua peridoe 2004-2009 dan 2009-2014 dengan satu presiden, pola ideologi Indonesia semakin meneguhkan ideologi berbasis rupiah. Pekerjaan yang paling membosankan adalah ‘menunggu’. Kalau anak didik pemegang ijazah SMA berjibaku untuk masuk perguruan tinggi, gagal tahun ini bersiap maju tahun depan. Gagal lagi, akan memakai Rencana-B atau alternatif terakhir. Di industri politik, gagal di pemilu dan pilpres, tunggu waktu lima tahun lagi. Pecundang politik, biasanya tidak evaluasi diri, tetapi sibuk dan gemar mencari kambing hitam. Jika cerdas,  mulai dari nol, melakukan perombakan total. Jika dua kali aktif ikut di pesta demokrasi, dengan hasil maksimal hanya jadi runner-up, bukannya tak berdampak. Energi diri terkuras di masa tunggu selama dua periode, menjadikan tidak siap menang di pesta demokrasi 2014.

Keluh ki dalang Sabdopawon, hidup merdeka di bawah bayang-bayang politik lawan selama penantian dua kali pesta demokrasi, menjadikan naluri politik, insting politik tumbuh ke bawah. Bukan tumbuh ke samping apalagi tumbuh ke atas. Daya tanggap, sifat peka, dan rasa peduli politik hanya sebatas urusan perut ke bawah, yaitu syahwat politik. Sepuluh tahun memendam berbagai jenis ambisi, membiakkan aroma irama dendam politik, sekaligus menimbun berbagai ragam antipati. Dipastikan, yang dipikirkan bukan negara ke depan, tetapi lebih bagaimana selama lima tahun ini menjadikan negara sebagai hak milik, hak guna dan hak pakai sekaligus sebagai warisan keluarga.[Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar