disparitas revolusi mental, lubang berjalan vs evolusi
mukiyo
Konon, Indonesia mempunyai proyek abadi jalan/jalur mudik
abadi, khususnya di pulau Jawa. Pemerintah maupun pemerintah daerah bukannya
tak peka, peduli dan tanggap atas nasib pemudik atau pihak yang memanfaatkan
libur panjang. Kita wajib bersyukur, selama periode 2014-2019 berkat tol laut,
angkutan mudik no problem.
Jangan lupa, terjadi disparitas
utawa kesenjangan akibat pembangunan nasional yang merata. Menghasilkan atau
efek samping atau produk sampingan berupa provinsi kaya dengan penduduk miskin.
Di pulau Jawa, ada gubernur dan dinasti politiknya tidak mendadak kaya,
diimbangi rakyatnya yang mempunyai/menghuni Rutilahu, RTLH alias Rumah Tidak
Layak Huni.
Kita bersyukur lagi,
proyek Sejuta Rumah Jokowi-JK yang diformulasikan lewat revolusi mental,
diharapkan tidak ada RTLH maupun kota kumuh. Secara umum masih terdapat kepala
daerah rupiahnya melimpah ruah, apakah gubernur atau bupati/walikota, di kutub
lain kepala keluarga bekerja 24 jam sehari, banting tulang, peras keringat, adu
otot, mati-matian bahkan ada yang mati betulan, berdarah-darah, hanya untuk
makan sehari.
Rakyat berbasis ekonomi
sehari, sedangkan yang bukan rakyat menerapkan dan mempraktikkan asas ekonomi
tujuh turunan. Jika titian serabut dibelah tujuh, maka di Nusantara terdapat
aliran kekuasaan negara sebagai warisan untuk tujuh turunan.
Otonomi daerah sejalan
dengan klasifikasi jalan : jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten/jalan kota. Jakarta sebagai ibu kota negara, dengan jargon kota BMKG,
menjadi semangat untuk mewujudkan jalan layang dengan berbagai manfaat. Jakarta
menghadirkan jalur pesepeda, pedestrian atau jalur pejalan kaki, serta trotoar
yang selama ini menjadi multifungsi.
Konon, salah satu
provinsi di NKRI, dengan gaya hidup, gengsi, gaul dan perilaku serba modern,
malah melahirkan fenomena bukannya banyak jalan berlubang, khususnya jalan
antar pelabuhan. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar