ketika negara dirugikan, kasus LGBT vs evolusi mukiyo
Bangsa Indonesia memang kreatif. Bukti sederhana di
bidang otomotif. Mobil yang di negara asalnya, pabriknya sudah bubar,
kendaraannya masih berkeliaran di Indonesia. Sampah buangan rumah tangga, pasar
tradisional menjadi sumber rezeki. Sampah buangan industri, yang bekas
sortiran, bisa meningkatkan gengsi. Makanan sisa rumah makan berklas, didaur
ulang menjadi santapan murah meriah.
Selain kreatif, banyak pula yang penyuka produk
mancanegara. Tak salah, alumni perguruan tinggi mancanegara, bahkan dari negara
tetangga, mempunyai peringkatan gaji di atas produk lokal, produk dalam negeri.
Bukan sekedar rumput tetangga lebih hijau. Asas kejarlah ilmu sampai negeri
Cina, diterjemahbebaskan ke dalam bahasa politik Jokowi-JK, datangkan orang
Cina sebanyak mungkin. Menjadi guru di Nusantara. Kalau perlu disambut dengan
gelaran karpet merah.
Gaya hidup, gaul, gengsi yang diadob bebas dari orang
asing adalah perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Kreativitas
anak bangsa yang mengeksploitasi eksistensi dan kemanfaatan finansial LGBT, mengkomersialkan
LGBT, menjadi semacam PSK. Memanfaatkan celah pasal yang abu-abu terhadap
bahaya LGBT.
Bonus demografi terjadi ketika
jumlah penduduk berusia produktif 15-64 tahun lebih banyak ketimbang usia tak
produktif (di bawah 15 dan lebih dari 64). Kesan pertama yaitu penduduk
berusia <15 tahun dan >64 tahun masuk kategori tak produktif. Tentunya
ada perbedaan nyata makna tak produktif
antar batasan usia tersebut.
Penduduk dengan usia sampai dengan 15 tahun, menjadi
sasaran empuk bagi pihak yang ingin menghancurkan Indonesia. Jika calon
generasi sudah terdampak penyakit masyarakat, bangsa ini akan lumpuh secara
sistematis. Perokok pemula semakin muda, salah satu bukti ketidakberdayaan
pemerintah menghadapi intervensi pemodal klas dunia. Rokok bukan pilihan, namun
tetap dilematis. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar