Halaman

Selasa, 27 September 2016

buaya hendak jadi cicak



buaya hendak jadi cicak

Fenomena panggung politik Nusantara, apa pun boleh dan bisa terjadi. Pertarungan, persaingan sedemikian tidak bisa diprediksi. Siapa lawan siapa. Tidak ada aturan main, semua pakai gaya bebas. Kurang modal, bisa cari sponsor, pemodal, cukong politik. Nyali politik pas-pasan, bisa bantuan mantera dari roh mancanegara.

Lapis kedua pelaku, pemain, pekerja, pegiat politik lebih banyak menelan air liur sendiri. Lapis utama, hobi menjilat ludah sendiri. Lapis ambang bawah, beraninya hanya meludah ke atas atau saling meludahi dengan sesama relawan, tim sukses yang mirip bonek.

Konflik internal antar pemain semakin nyata, karena jatah atau kuota terbatas, tidak pandang jender, tidak peduli asal usul kewarganegaraan serta tidak pakai pasal halal-haram. Asal sudah menjadi mufakat partai, kebijakan partai atau tepatnya kebijakan oknum ketua umum partai, siapa pun siap naik daun dadakan atau masuk kotak sang dalang.

Bencana politik nasional, dikemas dari perilaku sang buaya yang kebal hukum, kecuali hukum politik. Ketika asas “becik ketitik, olo ketoro” ikut bicara dan menghias iklim politik Nusantara, mau tak mau, buaya kehabisan mangsa, paceklik akal liciknya. Bukan akal bulusnya. Karena ‘akal buaya’ memang dibutukan di syahwat politik Nusantara.

Perseteruan ‘Cicak vs Buaya’, menjadikan zaman edan dipercepat. Markas besar buaya penuh dengan berbagai jenis buaya. Mereka kehilangan pekerjaan. Buaya pendatang lebi dipercaya oleh penguasa negara. Wolak-walik ing zaman.

Mendadak tanpa komando, buaya yang tersingkir berubah niat, malah ingin jadi cicak. Padahal cicak saat itu merupakan jelmaan buaya pendatang. Wujudnya buaya, hanya ukurannya sebesar cicak. Opo tumon. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar