buaya hendak jadi cicak
Fenomena panggung politik Nusantara,
apa pun boleh dan bisa terjadi. Pertarungan, persaingan sedemikian tidak bisa
diprediksi. Siapa lawan siapa. Tidak ada aturan main, semua pakai gaya bebas. Kurang
modal, bisa cari sponsor, pemodal, cukong politik. Nyali politik pas-pasan,
bisa bantuan mantera dari roh mancanegara.
Lapis kedua pelaku, pemain, pekerja,
pegiat politik lebih banyak menelan air liur sendiri. Lapis utama, hobi
menjilat ludah sendiri. Lapis ambang bawah, beraninya hanya meludah ke atas atau
saling meludahi dengan sesama relawan, tim sukses yang mirip bonek.
Konflik internal antar pemain semakin
nyata, karena jatah atau kuota terbatas, tidak pandang jender, tidak peduli
asal usul kewarganegaraan serta tidak pakai pasal halal-haram. Asal sudah
menjadi mufakat partai, kebijakan partai atau tepatnya kebijakan oknum ketua
umum partai, siapa pun siap naik daun dadakan atau masuk kotak sang dalang.
Bencana politik nasional, dikemas
dari perilaku sang buaya yang kebal hukum, kecuali hukum politik. Ketika asas “becik ketitik, olo ketoro” ikut bicara dan menghias iklim
politik Nusantara, mau tak mau, buaya kehabisan mangsa, paceklik akal liciknya.
Bukan akal bulusnya. Karena ‘akal buaya’ memang dibutukan di syahwat politik
Nusantara.
Perseteruan ‘Cicak vs Buaya’,
menjadikan zaman edan dipercepat. Markas besar buaya penuh dengan berbagai
jenis buaya. Mereka kehilangan pekerjaan. Buaya pendatang lebi dipercaya oleh
penguasa negara. Wolak-walik ing
zaman.
Mendadak tanpa komando, buaya yang
tersingkir berubah niat, malah ingin jadi cicak. Padahal cicak saat itu
merupakan jelmaan buaya pendatang. Wujudnya buaya, hanya ukurannya sebesar
cicak. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar