efek domino Jokowi 2019, hormon politik vs evolusi mukiyo
Hidup mengikuti aturan
main politik Nusantara, sudah jelas dan siap jadi budak politik. Pasal pecat-memecat
menjadi praktik partai politik yang mempunyai kursi di parlemen Senayan, maupun
yang sedang menapak, menjejakkan kakinya pertama kali di bumi Ibu Pertiwi.
Fanatisme pemeluk,
penganut ideologi bisa lebih barbar daripada bonek pendukung kesebelasan
daerahnya. Pejuang, petarung dan petaruh politik bisa lebih fanatik dibanding umat
beragama pada umumnya. Tokoh sentral oknum ketua umum bisa sedemikian sakral,
karena sebagai penentu nasib anggotanya. Terlebih karena jam terbang sang oknum
ketua umum menjadikan dirinya sebagai pemegang hak prerogatif. Namanya politik,
jangan dikaitkan dengan pasal mora; norma berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat.
Agaknya hanya pelaku
ekonomi klas kakap yang tidak mau terjun ke gelanggang politik. Daya beli
mereka bisa membiayai perjalanan politik lokal, regional sampai nasional. Pengaruh
relasi mereka bisa menentukan siapa menjadi apa dalam pesta demokrasi
Nusantara. Jumlah mereka tak seberapa, bahkan tak dikenal di lingkungan tempat
tinggal yang serba berpindah.
Kita akui di hati kecil
diri sendiri, bahwasanya di periode 2014-2019 tak lain tak bukan sebagai adegan
ulang yang seharusnya tayang di periode 2004-2009. Sudah direvisi malah
mangkrak di periode 2009-2014. Posisi presiden, kepala negara, kepala
pemerintahan atau sebutan sejenis lainnya, tidak menjadikan bangsa ini bagaikan
keluarga besar, organisasi besar.
Jika pemeran presiden
2014-2019 yang digadang tidak turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo, sebelum
kontrak politik usai, malah dikipas-kipas maju di pilpres 2019 yang serentak
dengan pileg. Dalih Indonesia tetap utuh, tapi bonyok di dalam, …. Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar