daur ulang jiwa ideologi, revolusi mental vs evolusi mukiyo
Antara pemilu 1955 yang
sebagai pemilu pertama dan sekaligus terakir di era Orde Lama, sampai pesta demokrasi (pileg dan pilpres)
2014 di eras pasca reformasi, memang menjadi ajang partai politik unjuk gigi. Belum
dipastikan apakah ada benang merah atau bakan kesinambungan ideologi antar
pemilu, antar periode, antar pemerintah.
Dimensi kebangsaan dan
kerakyatan Bhinneka Tunggal Ika, menjadikan semua aliran partai politik muncul
di Nusantara. Sebagai bangsa majemuk, semua agama, baik itu agama langit maupun
agama bumi dan yang bahkan aliran kepercayaan ditampung di Indonesia. Penganutnya
mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
Perkembangan zaman dan
perubahan peradaban, secara perlahan tapi pasti, melahirkan ideologi rupiah. Jangan
heran kalau KPK seolah tak akan kehabisan pekerjaan. Walau ada pihak yang getol
menjegal, menghalangi laju KPK. Yang lebih bikin miris, pihak yang menetapkan
KPK menjadi besar kepala dan ciut nyali mengadapi kenyataan hidup berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat.
Stigma masyarakat buta
politik, yang terjadi malah sebaliknya. Kader partai yang melek politik, yang
sedang praktik sebagai penyelenggara negara, tanpa sadar diri tapi yakin
terjegal pasal tipikor atau pasal tindak pidana lainnya. Perjuangan dengan modal
rupiah menjadikan seseorang eksis di panggung politik Nusantara. Cara lain,
adalah dengan dagang politik menang merek. Dinasti politik sebagai penentu
keberlanjutan berhala reformasi 3K (Kaya, Kuat, Kuasa).
Budaya instan sangat
digemari oleh penggemar nafsu dan syahwat politik Nusantara. Prinsip mereka
adalah “buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Lahirlah faham anak
ideologis. Atau karena perkawinan, virus ideologi menular ke generasi trahnya. Di
dunia artis, sudah menjadi resep umum untuk berkarir melanjutkan bakat warisan.
Opo tumon.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar