Halaman

Minggu, 11 September 2016

daur ulang jiwa ideologi, revolusi mental vs evolusi mukiyo



daur ulang jiwa ideologi, revolusi mental vs evolusi mukiyo

Antara pemilu 1955 yang sebagai pemilu pertama dan sekaligus terakir di era Orde Lama,  sampai pesta demokrasi (pileg dan pilpres) 2014 di eras pasca reformasi, memang menjadi ajang partai politik unjuk gigi. Belum dipastikan apakah ada benang merah atau bakan kesinambungan ideologi antar pemilu, antar periode, antar pemerintah.

Dimensi kebangsaan dan kerakyatan Bhinneka Tunggal Ika, menjadikan semua aliran partai politik muncul di Nusantara. Sebagai bangsa majemuk, semua agama, baik itu agama langit maupun agama bumi dan yang bahkan aliran kepercayaan ditampung di Indonesia. Penganutnya mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

Perkembangan zaman dan perubahan peradaban, secara perlahan tapi pasti, melahirkan ideologi rupiah. Jangan heran kalau KPK seolah tak akan kehabisan pekerjaan. Walau ada pihak yang getol menjegal, menghalangi laju KPK. Yang lebih bikin miris, pihak yang menetapkan KPK menjadi besar kepala dan ciut nyali mengadapi kenyataan hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Stigma masyarakat buta politik, yang terjadi malah sebaliknya. Kader partai yang melek politik, yang sedang praktik sebagai penyelenggara negara, tanpa sadar diri tapi yakin terjegal pasal tipikor atau pasal tindak pidana lainnya. Perjuangan dengan modal rupiah menjadikan seseorang eksis di panggung politik Nusantara. Cara lain, adalah dengan dagang politik menang merek. Dinasti politik sebagai penentu keberlanjutan berhala reformasi 3K (Kaya, Kuat, Kuasa).

Budaya instan sangat digemari oleh penggemar nafsu dan syahwat politik Nusantara. Prinsip mereka adalah “buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Lahirlah faham anak ideologis. Atau karena perkawinan, virus ideologi menular ke generasi trahnya. Di dunia artis, sudah menjadi resep umum untuk berkarir melanjutkan bakat warisan. Opo tumon.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar