Halaman

Minggu, 11 September 2016

efek domino evolusi mukiyo, salah tembak vs salah sasaran



efek domino evolusi mukiyo, salah tembak vs salah sasaran

Beban dan dosa politik yang dipanggul generasi pasca reformasi, sudah melampaui daya tahan. Perilaku pelaku, pemain, pekerja politik bukannya semakin sadar diri. Semangkin menjadi-jadi, membabi buta. Mulai dari merasa negara ini sebagai warisan moyangnya sampai mengkotak-kotakkan Nusantara secara konstitusional.

Antar periode pemerintah, terjadi alih dosa politik yang beranak pinak dalam skala harian. Tanpa merasa dosa, oknum anak bangsa mendirikan partai politik. Tujuan utama mendirikan parpol sebagai perusahaan, bukan jaminan untuk sukses. Bahkan orang super kaya mendirikan parpol, masih dengan umur teknis bak uji coba. Mengandalkan nilai jual perorangan membuktikan bahwa daya juang hanya sebatas urusan perut.

Ketua umum sebuah parpol yang jam terbangnya nyaris seumur-umur, bukan jaminan nilai jualnya berjibun. Berbuat untuk bangsa tidak harus jadi ketua umum parpol, meningkat menjadi kepala negara. Tepatnya, untuk melakukan kebaikan, wajib berdiri di barisan depan. Sementara pendorong keidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bisa diabaikan. Ini yang melandasi, mendasari mengapa kebijakan pemerintah seolah tidak pro-rakyat.

Pemerintah sebagai wakil bangsa dan negara, lebih mengutamakan, mengedepankan kepentingan asing. Untuk urusan rakyat diserahkan kepada pemerintah daerah. Proses degradasi nilai-nilai ideologi, jangan lupa Pancasila adalah ideologi nasional, berbanding lurus dengan laju pertumbuan nafsu, syawat politik Nusantara. Aroma irama ideologi versi 2014-2019, hanya Allah yang tahu bangsa ini mau dibelokkan kemana? Opo tumon. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar