efek domino evolusi mukiyo,
salah tembak vs salah sasaran
Beban dan dosa politik yang dipanggul generasi
pasca reformasi, sudah melampaui daya tahan. Perilaku pelaku, pemain, pekerja
politik bukannya semakin sadar diri. Semangkin menjadi-jadi, membabi buta. Mulai
dari merasa negara ini sebagai warisan moyangnya sampai mengkotak-kotakkan
Nusantara secara konstitusional.
Antar periode pemerintah, terjadi alih dosa politik
yang beranak pinak dalam skala harian. Tanpa merasa dosa, oknum anak bangsa
mendirikan partai politik. Tujuan utama mendirikan parpol sebagai perusahaan,
bukan jaminan untuk sukses. Bahkan orang super kaya mendirikan parpol, masih
dengan umur teknis bak uji coba. Mengandalkan nilai jual perorangan membuktikan
bahwa daya juang hanya sebatas urusan perut.
Ketua umum sebuah parpol yang jam terbangnya nyaris
seumur-umur, bukan jaminan nilai jualnya berjibun. Berbuat untuk bangsa tidak
harus jadi ketua umum parpol, meningkat menjadi kepala negara. Tepatnya, untuk
melakukan kebaikan, wajib berdiri di barisan depan. Sementara pendorong
keidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bisa diabaikan. Ini yang melandasi,
mendasari mengapa kebijakan pemerintah seolah tidak pro-rakyat.
Pemerintah sebagai wakil bangsa dan negara, lebih
mengutamakan, mengedepankan kepentingan asing. Untuk urusan rakyat diserahkan
kepada pemerintah daerah. Proses degradasi nilai-nilai ideologi, jangan lupa
Pancasila adalah ideologi nasional, berbanding lurus dengan laju pertumbuan
nafsu, syawat politik Nusantara. Aroma irama ideologi versi 2014-2019, hanya
Allah yang tahu bangsa ini mau dibelokkan kemana? Opo tumon. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar