aku di antara menolong
agama Allah dan mengurai kesulitan orang lain
Jum’at pagi hari, suara dari
depan rumah memanggil namaku. Mirip gaya ABG kalau mertamu atau mencari
temannya. Memoriku berbisik, itu suara sesama pensiunan yang lahir di tahun
sebelum proklamasi kemerdekaan. Demi hormati yang panggil, kutinggal kerjaku
dengan laptop. Jangan heran kalau beliau sibuk dengan pikun lingkungan. Kalau
di rumah, pasang gaya angker, jaga imej sebagai mantan pejabat. Di lingkungan,
beliau dikenal dengan sebagai tukang cerita. Tema utama bualannya cuma ada dua.
Pertama, bangga dengan almamater SMA-nya yang banyak menjadi orang. Kedua,
pamer kehebatannya sewaktu jadi kepala keamanan lapas di Jakarta.
Seperti biasa, beliau
langsung putar rekaman memorinya, dari Side A pindah ke Side B. Belum puas,
atau merasa ditanggapi, putar kembali Side A. Modal dua tema bisa berjam-jam
pamer masa lalunya. Ironisnya, kalau dikritik, disindir, beliau merasa
dikagumi. Tetangga, orang yang lewat, sempat menoleh ke kami. Dikira debat
pinggir jalan. Mengingat jumat sebagai penghulu hari, saya selalu membelokkan
cuapnya, agar berhenti.
Berhasil. Diluar nalar,
mendadak beliau pasang wajah memelas. Dengan pelan bilang : “Kedatangan saya,
saya mau pinjam Rp”. Cerita baru kali ini kudengar. Mobilnya sedang ulang
tahun. Butuh dana untuk memperpanjang STNK. Ironisnya, dia terkadang tanpa
diminta pamer pensiunnya sebagai pejabat ditambah pensiun isteri, lebih dari
cukup untuk hidup sebulan. Saya tanya : “Bapak lebih hebat, lebih kaya dari
saya . . .”. Wajah dan mimik tua ditonjolkan. “Saya tidak tahu kalau mobil
sudah habis STNK-nya”. Daripada pusing berdebat, akhirnya, Alhamdulillah, uang
di dompet saya pinjamkan ke beliau sambil mengingatkan : “Ini sekian, yang
doeloe belum bapak lunasi”. Aktingnya memang hebat. Sambil geleng sedih.
Langsung pamit, tidak segagah waktu bercuap tadi.
Saya lanjut buka laptop,
jelajah cari artikel. Mata hati seperti ada yang membimbing. Saya buka, tertarik
dengan kumpulan Sunah Rasul atau hadist. Khususnya pada : “Barangsiapa ingin do’anya terkabul dan dibebaskan dari
kesulitannya, hendaklah dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain.” (HR Ahmad)
Aneh, mengapa
hadist ini menggerakkan hati. Seperti klop, pas dengan kondisi yang sedang saya
hadapi. Seperti “menjawab” pergolakan hati selama ini. Tidak hanya bapak yang
tetangga yang saya uraikan di atas. Orang jauh lokasi, nyaris tiap minggu ada
yang datang. Butuh bantuan, khususnya rupiah. Saya tolak dengan halus, bahwa
saya pensiunan. Mereka bilang bapak orangnya bisa dan mau bantu.
Seperti diingatkan
akan substansi kuliah subuh sabtu/minggu di masjid kompleks tempat tinggal. Tercetak
dalam ingatan, hindari sifat cerita amal yang telah kita lakukan, agar dianggap
sebagai orang baik. Jauhi sifat cerita kehebatan diri agar diperhitungkan. Memori
saya seperti dibolak-balik. Lembaran demi lembaran berisi fakta kehidupan melayang
di benak saya.
Begitu tertayang
tema : “menolong agama Allah . . . “. Lembaran
tersebut berhenti dan seolah mengajak saya mengikutinya. Penasaran, langsung
saya cari di internet. Banyak artikel yang mengolah tema tsb. Agar lebih afdol.
Karena melalui beberapa surat/ayat Al-Qur’an telah dirawayatkan. Tertarik dengan
ketetapan Allah melalui [QS Muhammad (47) : 7] : “Hai
orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Radar hati dan daya
serap saya akirnya mengatakan, “Ya Allah hanya dengan ridho-Mu, hamba-Mu ini
bisa melaksanakan perintah-Mu dengan total dan (sekaligus) menjauhi larangan-Mu
dengan kuat.” Amin YRA. Do’a yang simple tapi tidak sederhana. Karena mengingat
bonus demografi, usia di atas 64 tahun masuk kategori usia non produktif. Allah
pun murka kepada manusia yang sudah renta, tetapi masih melakukan maksiat.
Pepatah mengatakan, jika
ingin membantu orang lain, jangan beri dia ikan, tetapi beri kail. Zaman sekarang
“kail” sebagai pemacu dan pemicu usaha produktif seolah tak berarti. Butuh
proses dan dukungan kail-kail lain, bahkan butuh “kail besar” atau semacam jaring dan sejenisnya. Budaya instan menjadikan
generasi muda tak betah lama-lama dalam antrian. Mereka ingin jalan pintas untuk
menjadi pesohor, tenar, bergelimang rupiah dan menjadi idola serta digandrungi
lawan jenis.
Jadi, mengacu judul,
memang bukan pilihan atau alternatif, justru kita lakukan bersamaan. Karena
orang lain mampu memberi syafa’at di akhirat. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar