Halaman

Rabu, 28 September 2016

aku di antara menolong agama Allah dan mengurai kesulitan orang lain



aku di antara menolong agama Allah dan mengurai kesulitan orang lain

Jum’at pagi hari, suara dari depan rumah memanggil namaku. Mirip gaya ABG kalau mertamu atau mencari temannya. Memoriku berbisik, itu suara sesama pensiunan yang lahir di tahun sebelum proklamasi kemerdekaan. Demi hormati yang panggil, kutinggal kerjaku dengan laptop. Jangan heran kalau beliau sibuk dengan pikun lingkungan. Kalau di rumah, pasang gaya angker, jaga imej sebagai mantan pejabat. Di lingkungan, beliau dikenal dengan sebagai tukang cerita. Tema utama bualannya cuma ada dua. Pertama, bangga dengan almamater SMA-nya yang banyak menjadi orang. Kedua, pamer kehebatannya sewaktu jadi kepala keamanan lapas di Jakarta.

Seperti biasa, beliau langsung putar rekaman memorinya, dari Side A pindah ke Side B. Belum puas, atau merasa ditanggapi, putar kembali Side A. Modal dua tema bisa berjam-jam pamer masa lalunya. Ironisnya, kalau dikritik, disindir, beliau merasa dikagumi. Tetangga, orang yang lewat, sempat menoleh ke kami. Dikira debat pinggir jalan. Mengingat jumat sebagai penghulu hari, saya selalu membelokkan cuapnya, agar berhenti.

Berhasil. Diluar nalar, mendadak beliau pasang wajah memelas. Dengan pelan bilang : “Kedatangan saya, saya mau pinjam Rp”. Cerita baru kali ini kudengar. Mobilnya sedang ulang tahun. Butuh dana untuk memperpanjang STNK. Ironisnya, dia terkadang tanpa diminta pamer pensiunnya sebagai pejabat ditambah pensiun isteri, lebih dari cukup untuk hidup sebulan. Saya tanya : “Bapak lebih hebat, lebih kaya dari saya . . .”. Wajah dan mimik tua ditonjolkan. “Saya tidak tahu kalau mobil sudah habis STNK-nya”. Daripada pusing berdebat, akhirnya, Alhamdulillah, uang di dompet saya pinjamkan ke beliau sambil mengingatkan : “Ini sekian, yang doeloe belum bapak lunasi”. Aktingnya memang hebat. Sambil geleng sedih. Langsung pamit, tidak segagah waktu bercuap tadi.

Saya lanjut buka laptop, jelajah cari artikel. Mata hati seperti ada yang membimbing. Saya buka, tertarik dengan kumpulan Sunah Rasul atau hadist. Khususnya pada : “Barangsiapa ingin do’anya terkabul dan dibebaskan dari kesulitannya, hendaklah dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain.” (HR Ahmad)

Aneh, mengapa hadist ini menggerakkan hati. Seperti klop, pas dengan kondisi yang sedang saya hadapi. Seperti “menjawab” pergolakan hati selama ini. Tidak hanya bapak yang tetangga yang saya uraikan di atas. Orang jauh lokasi, nyaris tiap minggu ada yang datang. Butuh bantuan, khususnya rupiah. Saya tolak dengan halus, bahwa saya pensiunan. Mereka bilang bapak orangnya bisa dan mau bantu.

Seperti diingatkan akan substansi kuliah subuh sabtu/minggu di masjid kompleks tempat tinggal. Tercetak dalam ingatan, hindari sifat cerita amal yang telah kita lakukan, agar dianggap sebagai orang baik. Jauhi sifat cerita kehebatan diri agar diperhitungkan. Memori saya seperti dibolak-balik. Lembaran demi lembaran berisi fakta kehidupan melayang di benak saya.

Begitu tertayang tema : “menolong agama Allah . . . “. Lembaran tersebut berhenti dan seolah mengajak saya mengikutinya. Penasaran, langsung saya cari di internet. Banyak artikel yang mengolah tema tsb. Agar lebih afdol. Karena melalui beberapa surat/ayat Al-Qur’an telah dirawayatkan. Tertarik dengan ketetapan Allah melalui [QS Muhammad (47) : 7] : “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

Radar hati dan daya serap saya akirnya mengatakan, “Ya Allah hanya dengan ridho-Mu, hamba-Mu ini bisa melaksanakan perintah-Mu dengan total dan (sekaligus) menjauhi larangan-Mu dengan kuat.” Amin YRA. Do’a yang simple tapi tidak sederhana. Karena mengingat bonus demografi, usia di atas 64 tahun masuk kategori usia non produktif. Allah pun murka kepada manusia yang sudah renta, tetapi masih melakukan maksiat.

Pepatah mengatakan, jika ingin membantu orang lain, jangan beri dia ikan, tetapi beri kail. Zaman sekarang “kail” sebagai pemacu dan pemicu usaha produktif seolah tak berarti. Butuh proses dan dukungan kail-kail lain, bahkan butuh “kail besar” atau semacam jaring dan sejenisnya. Budaya instan menjadikan generasi muda tak betah lama-lama dalam antrian. Mereka ingin jalan pintas untuk menjadi pesohor, tenar, bergelimang rupiah dan menjadi idola serta digandrungi lawan jenis.

Jadi, mengacu judul, memang bukan pilihan atau alternatif, justru kita lakukan bersamaan. Karena orang lain mampu memberi syafa’at di akhirat. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar