demokrasi sambung nusantara, pokoké nyambung
Rakyat tapak tanah, konsisten menapak
setapak demi setapak di jalur demokrasi tanpa pamrih. Sampai demokrasi jenuh,
nek, nyaris muak. Rakyat lagi, rakyat lagi. Padahal, sila-sila daripada dasar negara
digali dari perikehidupan rakyat 7x24 jam pekan. Bukan 7 (tujuh) turunan.
Tanpa rumusan dan ramuan resmi.
Keberagaman, kemajemukan, rasa persatuan dan kesatuan sudah menjadi menu harian
rakyat. Malah rakyat tidak tahu ada teori sila-sila dasar negara.
Formulasi dasar negara semakin dijabarkan
kian menampakkan sundaisme. Bodor-bodor dikit banyak goyangnya.
Filosofi dasar negara semakin diketengahkan
kian mewujudkan eksistensi jawa tengah yang multi etnis.
Filsafat dasar negara semakin diutarakan
kian menunjukkan pihak mana yang ‘kalut’ maupun yang suka main ‘sulut’.
Fatamorgana di tangan ahlinya (kawan
partai produk pesta demokrasi) menjadikan mereka kian alérgi, antipati, apriori terhadap praktek
demokrasi multipartai.
Hukum keseimbangan menegaskan,
semakin pemimpin jauh dari rakyat maka akan berbanding lurus dengan lunturnya,
rontoknya sila-sila daripada dasar negara. Rembug warga selaku solusi
masalah bersama. Tokoh masyarakat ambil peran nyata. Semua merasa memiliki dan
merasa bagian dari kebersamaan. Menyatu dengan alam menjadi modal untuk tetap
eksis.
Wajar, muncul generasi yang dengan sengaja memperkeruh suasana. Sekalian jadi sama-sama kacau. Daripada berharap tanpa kejelasan. Ibarat burung pungguk merindukan bulan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar