menang karep, tetep ora dianggep genep
Protokol hidup berkenormalan subvesi nusantara. Semangkin
membuktikan. Pawang politik merupakan
petugas partai pelaku ritual politik. Simbol pemegang kunci aksi ritual. Karena
ybs dianggap layak mulut untuk merapalkan mantra.
Padahal ora duwé karep, nanging
akéh pengarep-arep (11/10/2019 7:59 AM). Lepas siapa pelaku tunggal. Kapan dan dimana kejadian perkara. Tiap
daerah punya acara mirip. Putra-putri asli daerah berlomba masuk jajaran elite lokal. Modal tampang
garang memelas. Raut paras digaya-gayakan adem, kalem, aleman nanging geleman. Karakter wayang kalah bersaing dengan
watak manusia di panggung politik.
Norma, adat bahkan nilai religi
dianggap angin lalu. Cara sederhana, sebelum omongan, ujaran diobrolkan plus diobralkan,
ditujukan kepada diri sendiri. Bukan sekedar layak, patut, pantas atau
semaksud. Ibarat juru masak rumah tangga, dicicipi, test rasa hasil olahan.
Jangan lupa, semangat joeang 1945 bisa tetap membara akan
tetapi semangat Reformasi tak kalah garang.
Menang jadi arang, kalah jadi abu. Menang disumpah, kalah disumpahi. Menang
menumpuk kursi, kalah duduk manis di bangku cadangan. Bukannya melupakan
semangat Angkatan 1966.
Semakin meningkat, hierarkis, maka jabatan
ketua, kepala bisa bersifat komersial dalam bingkai politik. Jabatan yang
diperoleh dengan sistem pemilhan, jelas ada aturan main yang tidak main-main.
Dalam arti, semakin jauh dari rakyat karena disibukkan dengan status sebagai
hamba, abdi, jongos partai politik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar