gandrung kursi tiban, malah ketiban
Kakèhan tanduk ora tuwuk-tuwuk.
Terus isih njejaluk. Kurang pelakon margo kakèhan pangkon.
Tidak ada batas gender,
warna bulu jenis kelamin dan sejenisnya. Laku
atau pelaku LGBT belum dikenal. Kendati ada tokoh wayang lelaki gemulai,
tulang lunak. Sebaliknya, tokoh wayang perempuan yang berangasan. Doyan apa
saja. Disebut raksesi, lumrah. Tapi bak ksatria namun angkara murka.
Sensitivitas anak bangsa
pribumi yang masih doyan nasi, sesuai gelombang politik yang menerpa jidatnya.
Melihat orang jalan cepat, langsung ikut reaksi cepat. Menyimak lawan jenis
melintas di depan hidungnya, langsung kembang kempis. Membaca ujaran kebencian,
belum-belum sudah terangsang untuk menyonyorkan diri.
Wah salah kedadèn,
kursiku kabotan gelar. Serupa tapi tak sewajah
dengan kejadian “apa lacur, sudah jadi pelacur”. Beda dengan pengalaman
penghuni kamar sebelah. Berkat cerdas ideologi mampu meramu yang terlanjur
tidak malah menjadi hancur. Muncul semboyan “nasi terlanjur jadi bubur, tambah
santan” ujar masyarakat Minang.
Modal kamitégan, mentala,
tegelan tetep ora diangep.
Semua versi mengarah
pada olahpokal, tindak-tanduk sang paman-kandung, sekaligus patih. Oknum ini
sebagai pengendali diri sang raja. Bernama Sengkuni atau sebutan lokal lainnya.
Rangkap jabatan, sebagai ketua umum partai
politik milik pengusaha. Ambisi, skenario, konspirasi politiknya masih
berlaku saat ini. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar