Halaman

Selasa, 14 Maret 2023

gandrung kursi tiban, malah ketiban

gandrung kursi tiban, malah ketiban 

Kakèhan tanduk ora tuwuk-tuwuk. Terus isih njejaluk. Kurang pelakon margo kakèhan pangkon.   

Tidak ada batas gender, warna bulu jenis kelamin dan sejenisnya. Laku  atau pelaku LGBT belum dikenal. Kendati ada tokoh wayang lelaki gemulai, tulang lunak. Sebaliknya, tokoh wayang perempuan yang berangasan. Doyan apa saja. Disebut raksesi, lumrah. Tapi bak ksatria namun angkara murka.

Sensitivitas anak bangsa pribumi yang masih doyan nasi, sesuai gelombang politik yang menerpa jidatnya. Melihat orang jalan cepat, langsung ikut reaksi cepat. Menyimak lawan jenis melintas di depan hidungnya, langsung kembang kempis. Membaca ujaran kebencian, belum-belum sudah terangsang untuk menyonyorkan diri.

Wah salah kedadèn, kursiku kabotan gelar. Serupa  tapi tak sewajah dengan kejadian “apa lacur, sudah jadi pelacur”. Beda dengan pengalaman penghuni kamar sebelah. Berkat cerdas ideologi mampu meramu yang terlanjur tidak malah menjadi hancur. Muncul semboyan “nasi terlanjur jadi bubur, tambah santan” ujar masyarakat Minang.

Modal kamitégan, mentala, tegelan tetep ora diangep.

Semua versi mengarah pada olahpokal, tindak-tanduk sang paman-kandung, sekaligus patih. Oknum ini sebagai pengendali diri sang raja. Bernama Sengkuni atau sebutan lokal lainnya. Rangkap jabatan, sebagai ketua umum partai politik milik pengusaha. Ambisi, skenario, konspirasi politiknya masih berlaku saat ini. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar