udang di balik punggung panggung politik nusantara
Tentulah ada maksud tujuan tertentu dengan menyebut
sebutan nusantara. Hanya satu-satunya di alam dunia. Kalau disebut sudah tidak
ada yang lebih nggegirisi dan atau dibilang yang trengginas lebih banyak. Ini jelas
ujaran kebanci-bancian.
Carut-marut keperpolitikkan
nusantara kian semrawut, awut-awutan. Manusia ekonomi langsung tindak turun kaki tangan. Alat negara yang bak biro jasa aman dan tahan,
dipastikan duduk manis di kursi barisan pembantu presiden. Barometer
kedewasaan politik, lihat betapa interaksi aksi trias politika.
Wajar jika resmi ada anggaran
demokrasi sampai politik biaya
non-budgeter maupun kurs tengah kursi.
Tarif jalur cepat, jalur pendek, jalur pintas tentu beda dengan pola karier.
Tak perlu merintis dari nol. Tak pakai cara menapak dari bawah.
Sejarah perpolitikkan nusantara tak
akan lepas dari pengaruh dan periwayatan silsilah bentukan organisasi
kemasyarakatan dan partai politik sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Semangat
dan jiwa merdeka dengan satu
tujuan. Soal nanti siapa menjadi apa, tak mereka pikirkan. Apalagi ambisi,
obsesi, pamrih siapa akan dapat apa. Jauh.
Tak pakai heran bahwasanya panggung politik nusantara
sudah masuk klas dunia. Ternyata panggung
nusantara tidak dikuasai, didominasi oleh aktor-aktor partai politik. Penata
lakon pun sudah punya skenario global yang wajib tayang. Wajar, kalau
mau laku di panggung politik, siap melakoni lakon apa saja. Terutama tak wajib
membawakan dirinya sendiri secara nyata, utuh dan berjati diri.
Kadar loyalitas loyalis penguasa
setara tinggi kursi, selama lama masa jabatan, seharga argo politik, sesuai asas timbal balik pengabdian
atau perbudakan politik modern. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar