unjuk jati diri siapa aku vs tunjuk jidat siapa kau
“Monggo
dipun unjuk . . “, ujar tuan rumah kepada tamunya sambil menunjuk beberapa cangkir teh
nasgitel. Diminum habis disangka rakus. Sak sruputan atau sekedar ngincipi,
tidak menghargai tuan rumah. Adab menawarkan
mau minum apa.
Sajian kemasan gelas atau botol air mineral lebih praktis. Lebih praktis
lagi, sang tamu, pendatang bawa minuman sendiri. Bukan sekedar
minuman, fungsi utama
selaku obat haus. Bilamana perlu
nenteng bangku atau kursi lipat. Maunya dapat kursi kekuasaan tanpa harus modal
dengkul. Bilamana perlu kaki untuk menyepak, mendepak, menjegal. Lutut lebih berdaya
jelajah.
Doa rakyat adalah doa tak terucap. Pola perlawanan batin rakyat untuk
mengimbangi gejolak iklim dan suhu politik yang serba mégaéfék, mégatéga, anéka
méga. Antar penyelenggara negara sudah saling téga. Rakyat yang
terang-benderang daya ideologinya - relawan politik digital - ambil kesempatan
maupun semakin memperkeruh suasana. Mereka yakin, tulang pun tak akan kebagian.
Adab manusia nusantara yang tumpang tindih dengan masyarakat hukum adat. Pasal
hukum rimba belantara nusantara tak bertu(h)an, berlaku otomatis tanpa peringatan apalagi
sosialisasi. Tentu tidak hanya merugikan,
membahayakan kesehatan jiwa manusia. Eksistensi, bukti diri sebagai manusia
nusantara hanya dilekati suatu identitas, label diri. Padahal hakikatnya setengah isi separuh
kosong.
Kapasitas diri, potensi diri harus dilihat dari segala arah, semua aspek. Sinetron kurang lakon jika tidak ada adegan di kuburan, tempat pemakaman umum. Bukan untuk mengingatkan kematian.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar