sosok panutan mbokdé mukiyo, dudu tokoh manutan
Sebagai makhluk sosial dengan penyandang status sosial aneka skala. Anak bangsa pribumi
serba saling merasa. Ada-ada saja, baru
merasa sebagai manusia jika ada yang menyapa. Ada yang merasa punya setumpuk
wibawa jika ada yang main puja-puji. Tanpa diminta ada yang menyanjung. Disertai
takzim sambil tunduk kepala.
Interaksi sosial memakai format politik, tampak watak asli pihak yang
terlibat. Rakyat tak kenal kamus dan bahasa politik. Merasa menjadi semua bak
hafalan. Bukan keluar dari produk diri sendiri. Hasil olahan lokal, berkat daya
olah batin. Rasa hormat sesuai tata krama, subasita, adab norma kehidupan
bangsa timur.
Era Reformasi melahirkan mahzab bahwa mendirikan parpol atau menjadi ketua
umumnya sebagai syarat utama menuju kursi RI-1, menjadikan kita terjebak oleh
aturan sendiri. Masuk pusaran gaduh politik yang tak berujung pangkal, menyerap
enerji bangsa.
Kebanyakan manusia bercermin untuk mematut diri karena akan tampil.
Bercermin dengan mengedepankan akalnya untuk mencari pembenaran atas segala
tindakannya, tampilannya. Di momen inilah manusia serba merasa bisa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar