betapa laku umat Islam di mata menag 2016
Pesatnya
teknologi komunikasi informasi menggerus interaksi sosial yang selama ini jadi
ruang kompromi untuk meredam benturan kebudayaan. Forum musyawarah tergantikan
oleh chatting dan telekonferensi yang seringkali gagal fokus, lalu gagal
paham. Kerja bakti tergantikan kesibukan kerja individual di kantor virtual.
Persahabatan luntur karena tangan tak lagi
saling menjabat, berganti jemari yang menari di atas laptop. Dan, ketrampilan
menulis jadi tumpul karena kertas surat sudah dipangkas pesan pendek
dari ponsel.
Saat
ini, apa pun agama dan kepercayaan kita, pada akhirnya kita semua berada dalam
posisi yang sama: menjadi “umat digital”. Ekspresi beragama telah berevolusi.
Kaum muslim kini bertasbih gawai, mendaras
ayat Quran digital, fikihnya adalah Kanjeng Google, rajin mengikuti
majlis Al-Fesbukiyah, berceramah
lewat Twitter, bermuhasabah di Instagram, dan berguru pada Youtube.
Media
massa dan media sosial, yang masih amat longgar regulasinya, seolah arena
pertarungan bebas sekaligus
panggung drama yang gratis. Pembunuhan karakter, perampokan karya cipta,
perundungan, bercampur aduk dengan penipuan
dan pertunjukan. Tuntunan jadi tontonan, dan tontonan jadi tuntunan. Terjadilah distorsi informasi, glorifikasi
pesan, dan kesemrawutan konten.
Akibatnya, orang tak sempat mengunyah kabar yang matang. Informasi agama
ditelan mentah-mentah dari internet sehingga rentan tersesat, jadi penghujat,
dan gagal memaknai jihad.
(3 alinea cuplikan dari Pidato Kebudayaan Menag: Kedewasaan Beragama dan Masalah-Masalah Kemanusian Masa Kini”. Sabtu, 12 November 2016 08:54 WIB. Sumber: https://kemenag.go.id/read/pidato-kebudayaan-menag-kedewasaan-beragama-dan-masalah-masalah-kemanusian-masa-kini-yg0vo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar