Halaman

Sabtu, 20 Agustus 2022

rakyat pemaklum, bangsa pemaaf tanpa tekanan

rakyat pemaklum, bangsa pemaaf tanpa tekanan 

Fakta finansial gap pada anggaran biaya politik, menjadikan parpol melirik bantuan investor politik. Tak terkecuali investor politik dari negara paling bersahabat. Sejarah dan lebih parah, bisa cetak ulang kembali, jika pejawat presiden masih bernafsu maju lagi. Siap-siap jadi negara bagian atau provinsi kesekian dari negara pemodal.

Selama masih ada pihak doyan kursi konstitusi lewat lelang daripada pesta demokrasi. Patokan moral politik, lihat siapa kolega santainya. Simak pihak mana saja yang ada maunya, ada pamrih di balik gaya ujar injih-injih, inggih-inggih ora kepanggih. Merasa merakyat jika sadar lebur bareng  nongkrong nangkring pakai celana pendek atau di bawah lutut. Kaos butut pembagian kampanye. Modal korek api, mengurangi rokok teman agar cepat habis.

Tradisi belajar politik langsung praktik secara tradisional. Berguru tidak ke satu guru. Semakin merasa berilmu, tampak di bahasa tubuh, lekukan roman muka di wajah yang berubah drastis jika lapar. Ilmu padi muncul jika sua kawan partai negara asing. Ketertundukan kepala plus badan, karena rasa hormat. Gaya berbasis daya ilmu kondom, tegak gagah perkasa saat jumpa masyarakat politik kelas papan bawah, akar rumput, tapak tanah, wong cilik.

Rakyat tak tertarik dengan rumus politik, rumus bernegara, “siapa saja bisa menjadi apa saja”. Rakyat paham dengan sikap diam, lebih mencermati sejatinya siapa yang sedang jadi apa. Elit lokal saja bisa menjadi penjajajah atas bangsa sendiri. Interaksi antara penguasa dengan pengusaha menjadi satu paket. Koalisi partai politik kian menyiratkan kepentingan pihak tertentu. Sudah tampak praktik politik yang mulai meninggalkan plus menanggalkan sila-sila dasar negara.

Menjadi warga negara kelas desa atau sebutan setara, semaksud. Ketika desa ada dananya. Aturan main desa berdasarkan UU plus kelengkapan produk hukum yang mengatur langkah kehidupan. Ingat rumusan berbangsa, bernegara: “desa mawa cara, negara mawa tata”. Adab bermasyarakat, berbangsa, bernegara di negara Pancasila. sudah dibakukan, dibukukan, dibekukan bahwasanya murni terbetuk 4 Pilar Berbangsa dan Bernegara. Otomatis, praktik bermasyarakat tak perlu pilar. Sebagai dasar terjadinya kehidupan interaksi antar manusia. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar