diinjak-injak bangsa sendiri, méntal témpé berketurunan
Tak pandang jenis bulu kuduk. Penduduk sesuai e-KTP,
masyarakat berdasarkan teritorial, warga negara
menurut status hukum, rakyat menurut domisili diwajibkan mempunyai sertifikat
halal berbahasa tulis maupun berbahasa lisan. Bahwa sesungguhnya, akibat
daripada penggunaan bahasa, peribahasa, kebahasaan, budi bahasa secara bebas
aktif dan terkendali.
Tiap komponen bangsa merasa berhak untuk mengatur,
mengurus, mengelola bangsa lewat gemulai ujung jari tangan atau goyangan lidah
tak bertulang. Sesama “kedelai” lokal saja saling adu téga, saling libas demi
bayang-bayang masa lalu.
Ujaran orasi bebas kebangsaan, kenegaraan BK zaman Orde
Lama, menandaskan asas lugas bahwa Indonesia bukan bangsa témpé. Kendati
sejarah, proses ilmiah untuk menjadi témpé, bahan baku utama mengalami tindakan
diinjak-injak kaki bangsa sendiri. Bahkan sikile wong ndeso. Atau
minimal perlakuan berbasis tenaga fisik di tempat kejadian.
Pelaku, pemain politik, petugas partai sudah tidak bisa
membedakan mana kanan, mana kiri. Semakin berkubang dengan lumpur kekuasaan,
tidak pandang gender, semakin tidak bisa membedakan mana atas, mana bawah. Semakin
berpesta di atas penderitaan rakyat, kawanan parpolis penyelenggara negera
semakin gemar berfoya-foya di atas bangkai demokrasi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar