yang membuat kita tampak bego atau selebihnya
Pagi itu datanglah kepadaku, seorang warga kompleks ke
rumahku. Karena saya sedang sibuk menyapu jalan, terpaksa terjadilah dialog di
pinggir jalan.. Tak disangka, beliau (karena usianya lebih banyak) langsung nerocos tanpa ba-bi-bu. Seperti memberi
wejangan. Menarik kawan, susbtansi yang dipaparkan diperkuat dengan olah
tangan, terkiat dengan problem semalam yang saya hadapi. Orang ini mungkin
digerakkan hatinya oleh Allah, untuk mencari saya.
Tanpa peduli kesibukan saya, menyapu, mengangkat sampah
dengan pengki, masukan ke ember. Beliau bicara nyaris titik koma. Nafas panjang,
seperti tanpa alenia. Saya terpaksa jadi pendengar yang baik dan iseng. Agar substansinya
tak berulang, membuat jenuh, saya pancing dengan mempertanyakan susbtansi
lainnya. Beliau langsung respon, melanjutkan petuahnya, dan seperti dapat amunisi
segar, langsung mengulang bahan lama dengan tampilan baru.
Selesai menyapu jalan, saya bermaksud diskusi. Bicara dua
arah. Misi sudah rampung, beliau malah pamit pulang dengan rasa puas. Walau tangannya
masih menari-nari sambil bicara sendiri. Makanya, setiap tetangga yang liwat,
hanya senyam-senyum melihat saya jadi korban kebiasaan rutin beliau.
Pada waktu yang berbeda, setelah ganti hari, masih dengan
pelaku yang sama yaitu beliau. Mampirlah beliau karena melihat diriku sedang
baca Koran di teras, pagi hari. Biar dikira pensiunan kopral. Langsung saya tanya,
“Dulu bapak pernah dan sering bilang ke saya, masalah ini-itu, bagaimana kelanjutannya?”. Sebagai umpan pertama agar
rekaman pengalaman hidup beliau keluar. Sambil baca Koran bisa mendengarkan pitutur beliau.
Tanpa diduga, beliau tampak berpikir heboh. Dahi dikerenyitkan
biar tampak sebagai pemikir. Dengan mulut kecut, telapak tangan digelengkan, beujar
:”Kapan? Saya tidak pernah ngomong begitu?”. Agar tak merasa tersinggung, atau
kepekaannya sudah bergeser tragis. Saya tanya apa niat hati mampir. Beliau malah
semangkin bingung. Saya coba pancing dengan bacakan berita di koran, yang terkait
pengalaman beliau. Umpan dimakan mentah-mentah. Langsung beliau berkomentar,
lebih panjang lebar daripada berita tertulisnya. Terjadilah bualan satu arah,
diselingi tawa riang beliau mengingat kehebatannya masa lampau. Padahal tak nyambung dengan isi berita di koran. Yang
penting ngomong bah. Itulah hidup. Saya tidak tahu apakah wakil rakyat, minimal
ahli bual seperti beliau. Secuwil kebanggan masa lampau bisa diriwayatkan
berepisode-episode. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar