efek domino pekerja partai,
perpanjangan tangan dan pelaksana "demokrasi"-nya pdip
Tengah periode 2014-2019, tahun ketiga, tepatnya 20 Oktober 2016
– 20 Oktober 2017, praktik Joko Widodo
sebagai presiden dan JK sebagai wakil presiden, secara tayangan grafik bisa
dibaca bagaimana garis keberuntungannya. Apakah mencapai titik jenuh, titik
ktitis, atau masih mampu tancap gas. Bablas
sendirian, seperti anak dara lepas dari pingitan.
Kalau ada adegan tancep
kayon, wayang gunungan ditancapkan oleh ki dalang, bersifat filosofis ideologis
ala Jawa maupun mistis politis versi kamus politik. Ada yang mengatakan seperti
akan ada adegan peralihan, atau babak selanjutnya, atau bisa juga wayang bubar
tanpa pesan dan kesan. Jangan sampai pagelaran tutup buku sebelum jatuh tempo. Jangan
sampai terjadi makar, kudeta secara inkonstitusional oleh anggota wayang.
Sebelum tancep
kayon, apakah ada adegan jogedan
kayon yang dilengkapi narasi politik, karena melambangkan kemelut politik,
huru-hara politik, gonjang-ganjing politik, ontrang-ontrang politik. Jangan lupa
sejarah, ‘Demokrasi’ pada pdip, merupakan dampak penyederhanaan partai politik
di zaman Orde Baru. ‘D’ pada pdip merupakan penyederhanaan N atau nasional pada
PNI yang dibidani oleh Sukarno. Artinya, pdip merupakan turunan atau keturunan
dari PNI.
Yang sudah ada dan masih ada, kemungkinan berlanjut
secara biologi adalah ‘keturunan’. Kalau yang belum ada adalah ‘keturutan’. Jelasnya, apakah cita-cita
pdip sudah ‘keturutan’. Cita-cita
pdip analog dengan cita-cita oknum ketua umumnya. Apa arti atau bahkan makna
dari kata dalam bahasa Jawa : ‘keturutan’.
Dalam kamus politik, sudah menjadi kebijakan partai yang harus dilaksanakan
secara total oleh anggotanya.
Setiap manusia selalu mendapatkan amanah,
kepercayaan publik maupun SK dari langit, sejak nabi Adam diciptakan oleh
Allah. Setiap individu, pribadi, perorangan, person mendapatkan
amanah sebagai pemimpin. Konsekuensi logisnya, manusia harus mampu memampukan
dirinya untuk merajai diri sendiri (jagad cilik) dalam hubungan dengan ciptaan
lain (jagad gede), untuk memayu hayuning
bawana. Paribasan perenungan 'memayu hayuning bawana' secara utuh merupakan falsafah, tujuan dan
landasan hidup manusia di bumi.
Terjemahan secara harfiah atau literal ke bahasa Indonesia
menjadi 'membuat ayu bumi yang diciptakan oleh Allah, memang sudah dalam
keadaan ayu'. Manusia acap lupa diri, bahwa manusia memiliki darma dalam
kehidupan untuk menjaga keselarasan, keserasian serta keharmonisan interaksi
antara jagad gedhe (alam raya) dengan
jagad cilik (wadhag individual).
Untuk mampu mengemban amanah bahwa setiap manusia adalah
pemimpin, bukan karena atribut, simbol dunianya, tetapi karena faktor akhlak.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar