Halaman

Selasa, 22 November 2016

efek domino politik Nusantara, berangan-angan melampaui zaman vs bertindak surut ke zaman lampau



efek domino politik Nusantara, berangan-angan melampaui zaman vs bertindak surut ke zaman lampau

AKAL ANAK
Dikisahkan,  ada anak bawah lima tahun ingin membuat minuman susu kesukaannya. Sesuai prosedur, ambil gelas, tuang gula dan susu sesuai selera, diaduk. Suatu ketika saat tuang air hangat ke dalam gelas, ibunya melihat. Cara anak menuang air dari ketinggian tertentu. Air dikucurkan sebisa tangannya, asal masuk ke dalam gelas. Sang ibu menegur, karena air berhamburan. Membasahi sekitar gelas.

Jawaba sang anak membuat ibunya bernalar. Dalih sang anak, cara tuang seperti itu sekalian mengaduk susu. Ada benarnya kawan. Ada logika teknis yang logis. Menghemat tenaga dan waktu aduk.

AKAL POLITIK
Diriwayatkan, ada orang tua yang sayang sesuai prosedur adat dan kearifan lokal serta mengikuti standar keamanan negara. Faktor ajar, faktor didik sejak dini anak diberi asupan menu gizi bercitra ideologi. Minimal dengan kesibukan orang tua bisa mempengaruhi persepsi anak, imajinasi anak. Pada skla tertentu bisa mencetak ambisi anak.

Pondasi ilmu dan agama anak, diperkuat dengan ramuan cinta lingkungan. Mengajak anak bersosialisasi, berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal. Kalau bisa, anak diajak ikut kumpul anggota pergerakan. Diajak ke rumah sesama aktivis, untuk membentuk landasan bermasyarakat.

Anak tidak sekedar dididik bicara, dilatih bicara dengan olah badan. Anak diajar berani bicara. Anak disiapkan untuk berani bertanya. Resep ini seolah berlaku umum dan memang begitulah seharusnya orang tua berbuat untuk anak. Komunikasi anak dengan saudaranya, khususnya dengan orang tuanya harus optimal, rutin dan sesuai jalurnya.

Dari kasus yang paling merakyat sampai kasus kalangan istana, faktor ajar, faktor tular ideologi ke anak, bisa kita jadikan acuan. Bahkan tak pelak betapa SBY dengan berbagai predikatnya, dengan tangan sendiri mengolah daya dan akal politik anaknya.

AKAL-MENGAKALI
Jangan heran kawan, sejarah membuktikan, apakah karena faktor keturunan anak bisa sama atau melebihi pretasi orang tuanya. Tradisi usaha keluarga memang bisa diteruskan, diwariskan ke anak cucunya. Munculnya isme dinasti politik, sistem keluarga untuk mempertahankan kekuasaan formal maupun bentuk lainnya, sah secara yuridis formal. Pepatah “tak kenal, tak sayang” berlaku resmi di syahwat politik Nusantara. Wajar, kita menaruh kepercayaan kepada orang yang sudah kita kenal, apalagi sudah ketahuan modalnya.

Menang merek, menang nama besar moyangnya menjadikan anak tanpa keringat, langsung raih jabatan politis. Pernah terjadi, si biang ndangdut menyodorkan anaknya ikut pileg tingkat kabupaten/kota, didukung nama besar ybs dan khususnya nama beken babenya. Di pesta demokrasi 2014. Hasilnya. Jangankan sang anak, babenya saja malah memancing pangsa pasar berstigma uneducated people” saat dicapreskan. 2016 sang babe mendirikan partai politik dengan sengaja, terencana dan mengajak-ajak orang lain.

Jadi, pendidikan politik, bukan kawan. Apakah frasa “memperjuangkan cita-cita Partai Politik” seolah tidak bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis, hanya dalam bahasa politik. Apa tolok ukurnya. Bagaimana cara membuktikannya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar