efek domino politik Nusantara, berangan-angan
melampaui zaman vs bertindak surut ke zaman lampau
AKAL ANAK
Dikisahkan, ada anak bawah lima
tahun ingin membuat minuman susu kesukaannya. Sesuai prosedur, ambil gelas,
tuang gula dan susu sesuai selera, diaduk. Suatu ketika saat tuang air hangat
ke dalam gelas, ibunya melihat. Cara anak menuang air dari ketinggian tertentu.
Air dikucurkan sebisa tangannya, asal masuk ke dalam gelas. Sang ibu menegur,
karena air berhamburan. Membasahi sekitar gelas.
Jawaba sang anak membuat ibunya bernalar. Dalih sang anak, cara tuang
seperti itu sekalian mengaduk susu. Ada benarnya kawan. Ada logika teknis yang
logis. Menghemat tenaga dan waktu aduk.
AKAL POLITIK
Diriwayatkan, ada orang tua
yang sayang sesuai prosedur adat dan kearifan lokal serta mengikuti standar
keamanan negara. Faktor ajar, faktor didik sejak dini anak diberi asupan menu
gizi bercitra ideologi. Minimal dengan kesibukan orang tua bisa mempengaruhi
persepsi anak, imajinasi anak. Pada skla tertentu bisa mencetak ambisi anak.
Pondasi ilmu dan agama
anak, diperkuat dengan ramuan cinta lingkungan. Mengajak anak bersosialisasi,
berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal. Kalau bisa, anak diajak ikut
kumpul anggota pergerakan. Diajak ke rumah sesama aktivis, untuk membentuk
landasan bermasyarakat.
Anak tidak sekedar dididik
bicara, dilatih bicara dengan olah badan. Anak diajar berani bicara. Anak disiapkan
untuk berani bertanya. Resep ini seolah berlaku umum dan memang begitulah
seharusnya orang tua berbuat untuk anak. Komunikasi anak dengan saudaranya,
khususnya dengan orang tuanya harus optimal, rutin dan sesuai jalurnya.
Dari kasus yang paling
merakyat sampai kasus kalangan istana, faktor ajar, faktor tular ideologi ke
anak, bisa kita jadikan acuan. Bahkan tak pelak betapa SBY dengan berbagai
predikatnya, dengan tangan sendiri mengolah daya dan akal politik anaknya.
AKAL-MENGAKALI
Jangan heran kawan, sejarah
membuktikan, apakah karena faktor keturunan anak bisa sama atau melebihi
pretasi orang tuanya. Tradisi usaha keluarga memang bisa diteruskan, diwariskan
ke anak cucunya. Munculnya isme dinasti politik, sistem keluarga untuk
mempertahankan kekuasaan formal maupun bentuk lainnya, sah secara yuridis
formal. Pepatah “tak kenal, tak sayang” berlaku resmi di syahwat politik
Nusantara. Wajar, kita menaruh kepercayaan kepada orang yang sudah kita kenal,
apalagi sudah ketahuan modalnya.
Menang merek, menang nama
besar moyangnya menjadikan anak tanpa keringat, langsung raih jabatan politis. Pernah
terjadi, si biang ndangdut menyodorkan anaknya ikut pileg tingkat
kabupaten/kota, didukung nama besar ybs dan khususnya nama beken babenya. Di pesta
demokrasi 2014. Hasilnya. Jangankan sang anak, babenya saja malah memancing
pangsa pasar berstigma “uneducated
people” saat dicapreskan. 2016 sang babe mendirikan partai politik dengan
sengaja, terencana dan mengajak-ajak orang lain.
Jadi, pendidikan politik, bukan kawan. Apakah frasa
“memperjuangkan cita-cita Partai Politik” seolah tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara yuridis, hanya dalam bahasa politik. Apa tolok
ukurnya. Bagaimana cara membuktikannya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar