Urgénsi 2511, Utamakan
Kebutuhan dan Kepentingan Rakyat
Rencana Aksi Damai Bela
Islam III, jum’at 25 November 2016, tentu bukan sekedar aksi lanjutan maupun
membawa tuntutan baru. Sang penista agama dijadikan tersangka oleh Bareskrim
Polri jangan diartikan sebagai suatu bentuk kemenangan, jangan ditafsirkan
sebagai secuwil keberhasilan maupun jangan diterjemahkan sebagai sebongkah
langkah hukum. Daya respon Jokowi jangan diduga ybs memahami dan siap “Surodiro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti".
Aksi spontan yang terencana, terkoordinasi rawan dengan
penumpang gelap. Tak urung pengalaman 411, Polri membentuk lawan tanding, malah
sebagai bukti politik adu domba peninggalan penjajah Belanda masih
dilestarikan. Komentar Jokowi – yang
biasanya hobi komen adalah sang wakil presiden – semakin membuktikan daya politik pemerintah sudah di titik nadir
atau di ambang bawah.
Daya kritis wong cilik terhadap kebijakan dan kinerja
pemerintah, tidak bisa dikelabui oleh pamer prestasi oleh media massa berbayar.
Walau rakyat jelata tidak tahu apa manfaat utang luar negeri RI. Apakah untuk
menjaga agar asap dapur keluarga tetap mengepul, berasap atau kepentingan yang
lebih besar. Bangsa sebagai keluarga besar. Atau sebagai konsekuensi logis
bahwa pembangunan butuh uang/dana/biaya.
Apa yang disasar dari 2511.
Komen oknum penyelenggara negara yang merasa layak tampil
dan tayang di berbagai versi bentuk media massa. Semakin menebar benih badai
dan memancing kemelut bangsa. Antar penyelenggara negara seperti adu argument,
baku mulut, dengan dalih, dalil bahasa politik yang jauh dari bahasa rakyat.
Jadi, 2511 dengan setumpuk misi yang multimanfaat,
multiguna dan multifungsi. Berbagai kepentingan, agenda politik, aspirasi
rakyat bisa muncul atau maju bareng. Hindari sebagai peluang dan kesempatan
pemerintah secara konstitusional untuk menciptakan ‘proyek perang’. Cerdas mengantisipasi
intervensi pelaku ekonomi, aba-aba bandar politik dengan kepentingan yang lebih
besar, lebih urgen. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar