Memformat Ulang Tri Brata dan Catur Prasetya Polri
Secara tekstual,
bunyi Tri Brata dan Catur Prasetya Polri :
TRI BRATA
KAMI POLISI INDONESIA :
1. BERBAKTI KEPADA NUSA DAN BANGSA DENGAN PENUH KETAQWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
2. MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN KEADILAN DAN KEMANUSIAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR 1945
3. SENANTIASA MELINDUNGI MENGAYOMI DAN MELAYANI MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN UNTUK MEWUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
CATUR PRASETYA
KAMI POLISI INDONESIA :
1. BERBAKTI KEPADA NUSA DAN BANGSA DENGAN PENUH KETAQWAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
2. MENJUNJUNG TINGGI KEBENARAN KEADILAN DAN KEMANUSIAAN DALAM MENEGAKKAN HUKUM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR 1945
3. SENANTIASA MELINDUNGI MENGAYOMI DAN MELAYANI MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN UNTUK MEWUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN
CATUR PRASETYA
SEBAGAI INSAN BHAYANGKARA KEHORMATAN SAYA ADALAH BERKORBAN DEMI MASYARAKAT BANGSA DAN NEGARA UNTUK :
1. MENIADAKAN SEGALA BENTUK GANGGUAN KEAMANAN
2. MENJAGA KESELAMATAN JIWA RAGA HARTA BENDA DAN HAK ASASI MANUSIA
3. MENJAMIN KEPASTIAN BERDASARKAN HUKUM
4. MEMELIHARA PERASAAN TENTERAM DAN DAMAI
Namun, pasang surut perjuangan sang Rastra
Sewakottama yang berarti "Polri adalah Abdi Utama dari pada Nusa dan
Bangsa" ditentukan oleh kebijakan politik pemerintah. Semboyan ini adalah
Brata pertama dari Tri Brata yang diikrarkan sebagai pedoman hidup Polri sejak
1 Juli 1954.
Kontribusi, kiprah dan kinerja Polri juga ditentukan
oleh bagaimana memposisikan diri di dalam NKRI. Perseteruan Polri dengan KPK
secara berjilid, Buaya vs Cicak, sebagai bukti ketidakmampuan mempraktikkan secara
utuh dan nyata prasetya ke-3 dan prasetya ke-4 dari Catur Prasetya. Tindakan
Polri terhadap KPK saat itu sebagai melindungi diri dari dua mazhab yang
berlaku resmi, yaitu Polri Perut Gendut dan Polri Rekening
Gendut.
Kepolisian sebagai bagian dari instansi penegak hukum
berwenang menangani tindak pidan korupsi (tipikor). Agar terlaksana, memang
perlu mendapatkan dukungan formal, baik dalam hal penguatan sumber daya
manusianya maupun dukungan dana operasional.
Ketika Presiden
Joko Widodo menunjuk Kepolisian RI sebagai sektor utama Operasi Pemberantasan
pungutan liar alias Pungli (OPP), oktober 2016..Kaplori langsung menginstruksikan
seluruh kepala polda segera membentuk tim OPP. Tito menjelaskan, Fokus
memberantas pungli di setiap instansi pemerintah, termasuk kepolisian. Beberapa
target OPP, antara lain pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), surat
izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), dan buku pemilik
kendaraan bermotor (BPKB). Kapolri menuturkan, kepolisian akan berupaya
mewujudkan keinginan presiden Joko Widodo terkait pemberantasan pungli yang
masuk dalam program reformasi hukum.
Dengan kata
lain, jika tidak dengan sentuhan politik, Polri akan selalu tutup mata dengan operasi
senyap Pungli di tubuhnya sendiri. Jangan ditakar, kalau tidak muncul perang dingin antar angkatan alumni akademi polisi bisa memanas, saat
Bhayangkara-1 mengambil tindakan internal. Wajar kalau Kaplori merasa berhutang
budi kepada presiden. Kondisi ini menyandera Polri unruk menjaga jarak dengan
penguasa. Menjadi anak yang manis di mata presiden, polri bisa menjadi alat
pemukul penguasa.
Di periode 2014-2019, jabatan kapolri sebagai jabatan politik. Diusulkan
oleh presiden. Setelah lulus uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR RI, presiden
menetapkan dan melantik kapolri. Tradisi antar angkatan alumi akpol, sebagai
faktor pertimbangan usulan calon kapolri, tidak berlaku di tangan presiden.
Calon kapolri melangkahi angkatan di atasnya, bukan hal pamali, tabu,
pantangan. Kebijakan politik, bahasa politik yang menentukan nasib bangsa dan
negara.
Menghadapi kasus politik dengan berbagai dampak, efek, eksesnya, arah
selera Polri sudah bisa ditebak. Jabatan politik mau tak mau harus melaksanakan
pesanan politik. Contoh yang masih hangat, kita masih ingat pola pikir, gaya
ucap dan tindak laku gubernur DKI Jakarta yang melakukan penistaan agama.
Tentunya polri melakukan tindak keamanan berdasarkan sentuhan politik, daripada
“menjamin kepastian berdasarkan hukum”. Apakah masih ada niat baik
menyelesaikan kasus penistaan agama, atau sebaliknya.
Pakem atau primbon yang dianut mengatakan dan menyatakan bahwa Polri yang tumbuh dan berkembang dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat, memang harus berinisiatif dan bertindak sebagai abdi
sekaligus pelindung dan pengayom rakyat. Harus jauh dari tindak dan sikap
sebagai "penguasa". Ternyata prinsip ini sejalan dengan paham
kepolisian di semua Negara yang disebut new modern police philosophy, "Vigilant
Quiescant" (kami berjaga sepanjang waktu agar masyarakat
tentram). [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar