Halaman

Kamis, 17 November 2016

daya kritis anak bangsa terhadap ideologi abal-abal



daya kritis anak bangsa terhadap ideologi abal-abal

Sejarah membuktikan bahwa daya juang anak bangsa selama ratusan tahun untuk melawan penjajah Belanda, Jepang dan sekutu sebagai cika bakal, tindak awal peletakan pondasi bagi terbentuknya NKRI. Mereka berjuang tanpa pamrih. Tujuan mulianya adalah membuktikan diri tidak sudi dijajah serta sekaligus membentuk watak bangsa yang merdeka, bebas dari penjajahan, penindasan dan kungkungan oleh bangsa lain. Di tanah air negeri sendiri.

Pejuang tetap mengabdi tanpa pandang tempat, waktu dan tidak terpengaruh dampaknya. Rakyat jelata sampai penguasa, petinggi lokal saat itu, angkat bicara sampai angkat senjata, niat berdaulat di negeri sendiri. Gerakan berbasis agama Islam, yang tak ingin ada perbudakan suatu negara oleh negara lain, sekaligus menyiapkan jiwa raga anak bangsa untuk mampu mengatur diri sendiri. Pekik “merdeka atau mati” memang bukan pilihan, tetapi penyemangat berani hidup merdeka.

Olah pikir yang digagas dan diwujudkan adalah menyatukan anak bangsa dalam wadah besar yang sama. Membalik mental sebagai bangsa terjajah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Merapatkan barisan, persaudaraan, rasa guyub, ukhuwah untuk tujuan bersama. Tidak merasa paling bisa, paling berjasa.

Pasang surut pemerintah pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, masih banyak anak bangsa berjuang demi laju bangsa. Tidak memperhitungkan untung rugi. Tidak pernah terlintas di hati nurani akan adanya balas jasa, balas budi dunia. Tidak pernah membayangkan akan meraih jabatan di pemerintah dan negara. Bahkan ada yang bersemboyan “sengsoro, rekoso, mati yo ora opo-opo, kanggo negoro”.

Anak bangsa melihat betapa Bung Karno mendirikan partai politik bisa menjadi presiden. Tak salah jika ada anak bangsa yang berpikiran semacam itu. Mereka hanya melihat satu aspek, benang merah, menarik garis lurus atau berhitung mundur. Tanpa melihat pasal nilai perjuangan, nilai berkeringat. Mereka hanay melihat sosok Bung Karno sebagai aktifis, penggiat atau pelaku. Tanpa melihat betapa daya pikir, olah kata maupun pola tindak yang mampu menyihir rakyat Indonesia.


Produk daya pikir, olah kata maupun pola tindak bapak bangsa, sebagai dasar negara, landasan idiil, landasan konstitusional, landasan yuridis atau sebutan lainnya, berharap NKRI terus utuh, berkemajuan. Mereka sudah memikirkan langkah awal bangsa dan negara pasca kemerdekaan. Bukan sekedar merebut kemerdekaan, lalu pesta pora kemenangan. Tidak seperti era Reformasi. Pasca pesta demokrasi, pesta pora sambut kemenangan.

Banyak pejuang bangsa, tidak memperdulikan ideologi yang mereka yakini. Jiwa mereka sadar, jika berjuang atas nama ideologi hanya akan membuka ambisi diri. Mereka tidak merebut kekuasaan secara konstitusional. Pejuang sampai sekarang pun, tetap memperaturuhkan masa depan demi kekuasaan yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Jangan lengah kawan, mantan atau anak cucu kader, aktivis, pegiat, penggembira, relawan PKI (Partai Komunis Indonesia) masih gentayangan bebas. Ambisi politik mereka tidak serta serta sirna walau tanpa wadah partai politik. Terlebih dengan hubungan diplomatik RI dengan negara sumber pemikiran komunis kembali akrab, harmonis dan berkelanjutan. Gerakan senyap mereka sejalam dengan operasi para pelaku ekonomi skala regional, bilateral. Dendam anak cucu PKI melebur ke gerakan ideologi abal-abal. Secara formal mereka punya pelarian atau wadah, ketika jumlah partai disederhanakan di zaman pak Harto atau era Orde Baru. Pemerintah saat itu bersama DPR membuat dan menetapkan UU No 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.

Gerakan senyap anak cucu PKI sebagai bahaya laten. Mereka bergerak di mana saja, kapan saja. Terorganisir lewat gerakan atau organisasi tanpa bentuk. Janga heran jika wajah politik Nusantara dipengaruhi oleh aroma irama dendam politik tanpa sasaran.

Memangnya orang mendirikan partai politik terinspirasi oleh Bung Karno. Secara awam, ketika perkumpulan masa dalam prosesnya, akhirnya membutuhkan wadah. Agar sinerji terbentuk, agar energi tidak terbuang sia-sia. Itupun harus melalui pergolakan pemikiran yang berliku. Tidak sekedar modal Rp, modal tenar, punya pamor dan kesohor.[Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar