Di Dunia Saja Tidak Rukun
Ungkapan di atas berlaku umum, untuk siapa saja. Memang aneh, jika hidup di
dunia hanya sekedar singgah, sekedar mampir minum, masih sempat-sempatnya antar
umat manusia berseteru. Runyamnya kalau masuk fase saling tidak tegur sapa.
Menjadi musuh bebuyutan. Menjadi seteru berkesinambungan sampai dibawa ke liang
kubur. Janagn-jangan, mereka yang berseteru di dunia, di alam kubur akan
melanjutkan tradisi, hobi perseteruannya. Bagaimana caranya, lihat saja di TKP.
Rukun Tetangga/Rukun Warga atau bentuk lainnya komunitas penduduk
berdasarkan tempat tinggal, mengindikasikan atau mensyaratkan perlunya
kerukunan. Adab bertetangga, norma bertetangga sudah digariskan oleh agama
Islam. Kedudukan tetangga di mata kita, masuk satu paket kewajiban terhadap Allah
dan terhadap sesama manusia. Sebagimana yang tersurat dalam terjemahan pada [QS An Nisaa’ (4) : 36] : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri,”
Bantuan segera datang dari tetangga
tanpa diminta, saat kita mendapat masalah. Datang tidak pakai lama, daripada
menunggu bantuan saudara tapi jauh lokasi. Dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak akan masuk Jannah orang yang tetangganya tidak merasa aman
dari gangguannya.” (HR Muslim) semakin menjelaskan adab bertetangga secara
Islam dan islami.
Wajar jika manusia yang kaya, kuasa,
kuat bisa berlaku sombong dan membangga-banggakan diri. Mazhab demokrasi Indonesia
yaitu kesepakatan diambil berdasarkan suara terbanyak, maka pihak yang
mengantongi suara terbanyak merasa layak sombong dan membangga-banggakan diri. Ini
berlaku di pesta demokrasi. Bisa kita saksikan pihak yang tidak siap menang di
pesta demokrasi 2014, tetap mempraktikkan sombong dan membangga-banggakan diri.
Kembali ke nuansa Rukun. Bagaimana penerapannya
di kehidupan sehari-hari. Paling tidak di dalam sebuah keluarga.
Anak banyak dalam keluarga karena
menggunakan pola KB (Kerep Bayen) atau sering mempunyai bayi atau KB sebagai
Keluarga Besar, faktor ajar dan faktor didik orang tua sangat menentukan sisi
harmonis. Anak banyak bukannya tak berdampak. Bisa muncul konflik antar saudara
kandung secara alami. Atau tata urutan kelahiran menjadikan mereka kompak. Peran
anak sulung sebagai komandan, sebagai wakil orang tua, menjadi pemersatu
adik-adiknya. Dampaknya, ke anak cucu juga akan tetap kompak dan harmonis.
Pasangan suami istri (pasutri) tentu akan mengalami pasang surut
kerukunannya, rukun rumah tangganya. Kehadiran buah hati menjadikan pasutri
semakin rukun. Semboyan cinta dibawa sampai mati, pasutri tetap rukun dan utuh sampai
ajal menjemput. Tidak perlu diperdebatkan jika adat lokal menengarai bahwa
kerukunan pasutri, keharmonisan pasutri bisa dilihat nanti kuburannya berdampingan
atau tidak. Tak jarang, pasutri sudah pesan 2 kapling tanah kubur, tanah makam berdampingan.
Bagaimana jika bangsa dan rakyat tidak bisa rukun. Antara pemerintah dengan
rakyat diwarnai adu silang kata. Bahkan antar penyelenggara terjadi saling adu
kuat buka mulut. Indikasi bangsa majemuk, negara multipartai identik dengan berbagai
tingkatan konflik. Ketidakrukunan, ketidakharmonisan di negara akibat pihak
pemilik suara pemilih terbanyak, memberlakukan lawan politik bak musuh
bebuyutan yang harus dibumihanguskan sebelum tunas, sampai cindil abangnya. Jangan
biarkan lawan politik leluasa bergerak
di anah sendiri. Kalau bisa matikan sumber rezekinya. Tega nian, itulah
politik. Terlebih di era megatega, kalau tidak tega tidak akan kebagian.
Akankah seseorang sebagai individu, pribadi, perorangan melakukan tindak ’sombong dan membangga-banggakan diri’.
Jangan dijawab kalau dia sebagai penyelenggara negara yang dengan ujarannya
menandakan kesombongan dan bangga diri bisa berucap bebas tanpa kendali hati. Lain
halnya kalau rakyat demi perut, menjambret di siang bolong. Menjadi amuk massa,
menjadi korban main hakim sendiri, dan apesnya mendapat hukuman mati di tempat
tanpa proses ajukan grasi.
Jangan lupa kawan, tingkah laku
individu bukannya tak berdampak, bukan tanpa efek, bukannya tiada eksesnya. Aspek
yuridis kronologis, kita simak terjemahan [QS Al Hadiid (57) : 22]
: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa
di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam
kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah”.
Tersirat, penciptaan manusia oleh Allah disertai dengan berbagai
ketetapan-Nya. Artinya, manusia memilik garis tangan masing-masing. Manusia mempunyai
hak istimewa, prerogatif untuk memilih dan menentukan langkah kehidupannya. Peran
apa saja yang akan dijalankan. Kita menjadi manusia bebas. Bukan karena atau
oleh sebab itu bencana bisa menimpa diri kita sendiri.
Pola pikir, gaya ucap dan tindak laku kita mencerminkan, apakah kita rukun
dengan diri sendiri atau tidak. Strata tertentu, apakah radar dan kendali hati
kita masih berfungsi atau tidak. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar