Halaman

Minggu, 13 November 2016

Di Dunia Saja Tidak Rukun




Di Dunia Saja Tidak Rukun

Ungkapan di atas berlaku umum, untuk siapa saja. Memang aneh, jika hidup di dunia hanya sekedar singgah, sekedar mampir minum, masih sempat-sempatnya antar umat manusia berseteru. Runyamnya kalau masuk fase saling tidak tegur sapa. Menjadi musuh bebuyutan. Menjadi seteru berkesinambungan sampai dibawa ke liang kubur. Janagn-jangan, mereka yang berseteru di dunia, di alam kubur akan melanjutkan tradisi, hobi perseteruannya. Bagaimana caranya, lihat saja di TKP.

Rukun Tetangga/Rukun Warga atau bentuk lainnya komunitas penduduk berdasarkan tempat tinggal, mengindikasikan atau mensyaratkan perlunya kerukunan. Adab bertetangga, norma bertetangga sudah digariskan oleh agama Islam. Kedudukan tetangga di mata kita, masuk satu paket kewajiban terhadap Allah dan terhadap sesama manusia. Sebagimana yang tersurat dalam terjemahan pada [QS An Nisaa’ (4) : 36] :Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”

Bantuan segera datang dari tetangga tanpa diminta, saat kita mendapat masalah. Datang tidak pakai lama, daripada menunggu bantuan saudara tapi jauh lokasi. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk Jannah orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR Muslim) semakin menjelaskan adab bertetangga secara Islam dan islami.

Wajar jika manusia yang kaya, kuasa, kuat bisa berlaku sombong dan membangga-banggakan diri. Mazhab demokrasi Indonesia yaitu kesepakatan diambil berdasarkan suara terbanyak, maka pihak yang mengantongi suara terbanyak merasa layak sombong dan membangga-banggakan diri. Ini berlaku di pesta demokrasi. Bisa kita saksikan pihak yang tidak siap menang di pesta demokrasi 2014, tetap mempraktikkan sombong dan membangga-banggakan diri.

Kembali ke nuansa Rukun. Bagaimana penerapannya di kehidupan sehari-hari. Paling tidak di dalam sebuah keluarga.

Anak banyak dalam keluarga karena menggunakan pola KB (Kerep Bayen) atau sering mempunyai bayi atau KB sebagai Keluarga Besar, faktor ajar dan faktor didik orang tua sangat menentukan sisi harmonis. Anak banyak bukannya tak berdampak. Bisa muncul konflik antar saudara kandung secara alami. Atau tata urutan kelahiran menjadikan mereka kompak. Peran anak sulung sebagai komandan, sebagai wakil orang tua, menjadi pemersatu adik-adiknya. Dampaknya, ke anak cucu juga akan tetap kompak dan harmonis.

Pasangan suami istri (pasutri) tentu akan mengalami pasang surut kerukunannya, rukun rumah tangganya. Kehadiran buah hati menjadikan pasutri semakin rukun. Semboyan cinta dibawa sampai mati, pasutri tetap rukun dan utuh sampai ajal menjemput. Tidak perlu diperdebatkan jika adat lokal menengarai bahwa kerukunan pasutri, keharmonisan pasutri bisa dilihat nanti kuburannya berdampingan atau tidak. Tak jarang, pasutri sudah pesan 2 kapling tanah kubur, tanah makam berdampingan.

Bagaimana jika bangsa dan rakyat tidak bisa rukun. Antara pemerintah dengan rakyat diwarnai adu silang kata. Bahkan antar penyelenggara terjadi saling adu kuat buka mulut. Indikasi bangsa majemuk, negara multipartai identik dengan berbagai tingkatan konflik. Ketidakrukunan, ketidakharmonisan di negara akibat pihak pemilik suara pemilih terbanyak, memberlakukan lawan politik bak musuh bebuyutan yang harus dibumihanguskan sebelum tunas, sampai cindil abangnya. Jangan biarkan lawan politik  leluasa bergerak di anah sendiri. Kalau bisa matikan sumber rezekinya. Tega nian, itulah politik. Terlebih di era megatega, kalau tidak tega tidak akan kebagian.

Akankah seseorang sebagai individu, pribadi, perorangan melakukan tindak ’sombong dan membangga-banggakan diri’. Jangan dijawab kalau dia sebagai penyelenggara negara yang dengan ujarannya menandakan kesombongan dan bangga diri bisa berucap bebas tanpa kendali hati. Lain halnya kalau rakyat demi perut, menjambret di siang bolong. Menjadi amuk massa, menjadi korban main hakim sendiri, dan apesnya mendapat hukuman mati di tempat tanpa proses ajukan grasi.

Jangan lupa kawan, tingkah laku individu bukannya tak berdampak, bukan tanpa efek, bukannya tiada eksesnya. Aspek yuridis kronologis, kita simak terjemahan [QS Al Hadiid (57) : 22] :Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.

Tersirat, penciptaan manusia oleh Allah disertai dengan berbagai ketetapan-Nya. Artinya, manusia memilik garis tangan masing-masing. Manusia mempunyai hak istimewa, prerogatif untuk memilih dan menentukan langkah kehidupannya. Peran apa saja yang akan dijalankan. Kita menjadi manusia bebas. Bukan karena atau oleh sebab itu bencana bisa menimpa diri kita sendiri.

Pola pikir, gaya ucap dan tindak laku kita mencerminkan, apakah kita rukun dengan diri sendiri atau tidak. Strata tertentu, apakah radar dan kendali hati kita masih berfungsi atau tidak. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar