lawan politik, beban atau penyeimbang kekuasaan
Gerakan politik periode 2014-2019 yang diberi aroma irama
dan citra rasa revolusi mental, memposisikan Presiden hanya sebagai petugas
partai. Tidak salah karena nalar, akal, logika politik si pemberi citra
berkiblat pada partai komunis atau partai rakyat di Tiongkok. Mengacu pada
kondisi di Tiongkok bahwa jabatan pemimpin besar partai, ketua umum partai,
identik dengan jabatan kepala negara. Jangan heran jika ketua umum parpol
pemenang pesta demokrasi 2014, merasa layak jadi presiden senior. Karena ybs
malu maju ikut pilpres, takut kalau kepilih lagi, walau tidak diurutan pertama
seperti dua periode sebelumnya.
Tak disangka, moral dan mental parpol juara umum pesta demokrasi 2014,
tidak menunjukkan tanda rasa bersahabat kepada pihak peserta lainnya. Mereka
merasa kemenangan yang diraih berkat daya juang yang tak kenal lelah. Wajar,
dalam menikmati kemenangan politik, mereka mengandalkan dan mengutamakan pasal
tak kenal kompromi dengan pihak lawan. Bahkan kawan seiring yang patut dan
layak dicurigai akan mbelot, mbalelo, sikat habis sebelum tunas. Pihak
relawan yang menagih janji bagi hasil kekuasaan, yang meminta jatah balas jasa
dan balas budi, tidak serta merta dipenuhi.
Revolusi mental hanya pemanis rasa atau pemati rasa
bangsa. Anak bangsa sendiri tidak menghargai, menghormati sang presiden,
apalagi bangsa tetangga. Terlebih jika pembantu presiden tak memandang presiden.
Pertanda moral politik sudak sampai titik nadir, ambang bawah. Perlu generasi
baru, kehidupan baru yang menjadikan politik bukan sebagai sarana pelampiasan
ambisi politik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar