Halaman

Rabu, 16 November 2016

karena start awal 2014-2019 dimulai dari minus 10 tahun



karena start awal 2014-2019 dimulai dari minus 10 tahun

Namanya hobi bercocok tanam, entah tanaman hias maupun tanaman pangan, sepertinya dibutuhkan tangan dingin. Disederhanakan lagi, bisa membaca, menyatu dan ramah dengan lingkungan. Tidak pakai ilmu khusus, langsung praktik. Berbagai bentuk permasalahan di lapangan, sebagai bahan koreksi atas tindak selanjutnya.

Hobi bercocok tanam yang belum ada predikat, sebutan lain yang keren, bisa karena faktor keturunan. Hasil survey tanpa survey membuktikan, jika seseorang mempunyai daya peka, peduli dan tanggap lingkungan pada hakikatnya sudah masuk fase cinta tanaman. Tidak ada batasan usia syarat memulai cinta tanaman. Faktor ajar dan kebiasaan keluarga mengelola halaman, tanah tersisa, memanfaatkan sampah organis, menanam tanaman atau pohon pelindung, pohon sebagai pagar berdampak pada anak.

 Anak sejak dini jangan dicekoki ideologi yang tak bertuan, yang tak jelas rimba belantaranya. Batas yang boleh dan yang tidak boleh menjadi samar-samar. Tatap dan fokus ke masa depan. Jangan pakai rasa téga. Karena di éra mégatéga, kalau tidak téga tidak akan kebagian. Kalau bisa dikeduk, dikeruk habis jangan hanya ambil tanah satu ember, sudah puas. Kalau bisa panen sekarang, jangan tunggu sampai masak pohon. Utamakan diri sendiri, baru kepentingan orang lain. Pakai masker oksigen terlebih dahulu, baru anak menyusul. Itu standar keamanan dan keselamatan penerbangan internasional. Jauh dekat tanpa bonus makanan ringan dan mimuman ringan. Servis sesuai biaya minimalis. Bersyukur kalau asuransi masih dianggap dan berlaku.

Asas “tidak ada makan siang gratis” menyuburkan barter politik. Dengan sesama penghobi tanaman hias, kita bisa saling tukar tanaman untuk melengkapi khazanah dan koleksi kebun flora. Upaya mewujudkan taman mini keluarga. Mitos anak ideologis dibuktikan dengan orang tua peduli lingkungan, akan membentuk watak, karakter anak berjiwa pencinta tanaman. Kasih sayang orang tua ke anak bisa over dosis. Anak jangan sampai berkeringat. Yang penting jadi anak manis. Anak mama atau anak papa. Kalau sudah besar ingin kawin cepat atau cepat kawin.

Membesarkan hati anak, orang tua memakai kata sanjungan, kata pujian. Sang anak malah menjadi besar kepala. Sampai ubanan, bisanya merasa menjadi anak pandai, anak cerdas. Tak perlu makan bangku sekolah sampai jenuh. Toh yang dihargai cuma nama besar orang tua. Modal menang merek sudah lebih dari cukup.

Pohon atau tanaman menjadi multifungsi, multimanfaat, multiguna. Diimbangi kita membuang lubang sampah di pekarangan belakang atau halaman depan. Tempat buang sampah organis. Lebih nyata khasiatnya dibanding pola lubang biopori. Air hujan bisa diinjeksi ke bumi melalui jogangan (bahasa Jawa, artinya galian tanah untuk tempat pembuangan sampah).

Agar kebun tampak bermerek, berklas, coba tanam tanaman langka. Tidak harus yang pernah ngetren. Kita menanam bukan untuk diri sendiri. Di usia senja pun kita disunahkan menanam pohon yang hasilnya bermanfaat bagi anak cucu dan lingkungan. Jangan memanfaatkan aji mumpung atau mumpung aji, ketika enak-enaknya nangkring dan nongkrong. Malah disuruh merapat, agar penumpang yang lain kebagian tempat duduk di angkot. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar