karena start awal 2014-2019
dimulai dari minus 10 tahun
Namanya hobi bercocok tanam, entah
tanaman hias maupun tanaman pangan, sepertinya dibutuhkan tangan dingin. Disederhanakan
lagi, bisa membaca, menyatu dan ramah dengan lingkungan. Tidak pakai ilmu
khusus, langsung praktik. Berbagai bentuk permasalahan di lapangan, sebagai
bahan koreksi atas tindak selanjutnya.
Hobi bercocok tanam yang belum ada
predikat, sebutan lain yang keren, bisa karena faktor keturunan. Hasil survey tanpa
survey membuktikan, jika seseorang mempunyai daya peka, peduli dan tanggap
lingkungan pada hakikatnya sudah masuk fase cinta tanaman. Tidak ada batasan
usia syarat memulai cinta tanaman. Faktor ajar dan kebiasaan keluarga mengelola
halaman, tanah tersisa, memanfaatkan sampah organis, menanam tanaman atau pohon
pelindung, pohon sebagai pagar berdampak pada anak.
Anak sejak dini jangan dicekoki ideologi yang tak
bertuan, yang tak jelas rimba belantaranya. Batas yang boleh dan yang tidak
boleh menjadi samar-samar. Tatap dan fokus ke masa depan. Jangan pakai rasa téga. Karena
di éra mégatéga, kalau tidak téga tidak akan kebagian. Kalau bisa
dikeduk, dikeruk habis jangan hanya ambil tanah satu ember, sudah puas. Kalau bisa
panen sekarang, jangan tunggu sampai masak pohon. Utamakan diri sendiri, baru
kepentingan orang lain. Pakai masker oksigen terlebih dahulu, baru anak
menyusul. Itu standar keamanan dan keselamatan penerbangan internasional. Jauh dekat
tanpa bonus makanan ringan dan mimuman ringan. Servis sesuai biaya minimalis. Bersyukur
kalau asuransi masih dianggap dan berlaku.
Asas “tidak ada makan siang gratis” menyuburkan barter politik. Dengan sesama
penghobi tanaman hias, kita bisa saling tukar tanaman untuk melengkapi khazanah
dan koleksi kebun flora. Upaya mewujudkan taman mini keluarga. Mitos anak
ideologis dibuktikan dengan orang tua peduli lingkungan, akan membentuk watak,
karakter anak berjiwa pencinta tanaman. Kasih sayang orang tua ke anak bisa
over dosis. Anak jangan sampai berkeringat. Yang penting jadi anak manis. Anak mama
atau anak papa. Kalau sudah besar ingin kawin cepat atau cepat kawin.
Membesarkan hati anak, orang tua memakai kata sanjungan, kata pujian. Sang anak
malah menjadi besar kepala. Sampai ubanan, bisanya merasa menjadi anak pandai,
anak cerdas. Tak perlu makan bangku sekolah sampai jenuh. Toh yang dihargai cuma
nama besar orang tua. Modal menang merek sudah lebih dari cukup.
Pohon atau tanaman menjadi multifungsi, multimanfaat, multiguna. Diimbangi kita
membuang lubang sampah di pekarangan belakang atau halaman depan. Tempat buang
sampah organis. Lebih nyata khasiatnya dibanding pola lubang biopori. Air hujan
bisa diinjeksi ke bumi melalui jogangan (bahasa Jawa, artinya galian tanah
untuk tempat pembuangan sampah).
Agar kebun tampak bermerek, berklas, coba tanam tanaman langka. Tidak harus
yang pernah ngetren. Kita menanam bukan untuk diri sendiri. Di usia senja pun
kita disunahkan menanam pohon yang hasilnya bermanfaat bagi anak cucu dan lingkungan.
Jangan memanfaatkan aji mumpung atau mumpung aji, ketika enak-enaknya nangkring
dan nongkrong. Malah disuruh merapat, agar penumpang yang lain kebagian tempat
duduk di angkot. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar