Halaman

Rabu, 09 November 2016

anomali jiwa Bhayangkara, penegak hukum vs pengalih isu



anomali jiwa Bhayangkara, penegak hukum vs pengalih isu

Dominasi kebijakan politik yang menentukan jabatan Kapolri, menjadikan loyalitas Polri tergantung sang pemberi jabatan. Terlebih jika sistem karir di internal Polri tidak berlaku. Kebijakan politik pun seperti harus melalui proses adu kuat. Dengan dalih opini publik, pendapat masyarakat, aspirasi rakyat atau bentuk lain pro dan kontra, menjadi faktor penentu penentapan jabatan Kapolri. Kapolri menjadi jabatan politik, semacam balas jasa, balas budi  vs balas dendam.

Negara stabil, minimal sesuai batas dan asas pertahanan dan keamanan, menjadi bias akibat para pelakunya berorientasi pada orang yang sedang berkuasa. Ataupun kalau berorientasi pada sistem, tergantung pada kelompok kekuatan politik yang sedang mendominasi penyelenggara negara. Kalangan militer pernah tersandera dengan kebijakan politik yang ditetapkan oleh presiden. Persaingan tertutup adalah mematikan langkah karir ”lawan politik”nya.

Polri sebagai pengayom masyarakat mengalami proses penyesuaian diri dengan dinamika politik Nusantara. Sudah rahasia umum, Polri bisa sebagai perpanjangan tangan pengusaha untuk bebagai tingkat kepentingan. Skala dunia, Polri mampu dan dipercaya sebagai bagian konspirasi untuk membentuk opini, isu adanya Islam radikal, Islam garis keras. Membuat stabil suatu negara dengan membuat onar dalam negeri, membuat skenario instabilitas oleh negara adidaya dan antek-anteknya. Posisi tawar indnesia tidak hanya lemah, hanya siap komandan! Diperkuat politik sendiko dawuh.

Jadi, untuk mewujudkan negara stabil, sebagai syarat atau sebagai tujuan, jelas dimana letak permasalahannya. Tergantung itikad baik penyelenggara negara yang sedang buka praktik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar