anomali jiwa Bhayangkara, penegak hukum vs pengalih isu
Dominasi kebijakan
politik yang menentukan jabatan Kapolri, menjadikan loyalitas Polri tergantung
sang pemberi jabatan. Terlebih jika sistem karir di internal Polri tidak
berlaku. Kebijakan politik pun seperti harus melalui proses adu kuat. Dengan dalih
opini publik, pendapat masyarakat, aspirasi rakyat atau bentuk lain pro dan
kontra, menjadi faktor penentu penentapan jabatan Kapolri. Kapolri menjadi
jabatan politik, semacam balas jasa, balas budi vs balas dendam.
Negara stabil,
minimal sesuai batas dan asas pertahanan dan keamanan, menjadi bias akibat para
pelakunya berorientasi pada orang yang sedang berkuasa. Ataupun kalau
berorientasi pada sistem, tergantung pada kelompok kekuatan politik yang sedang
mendominasi penyelenggara negara. Kalangan militer pernah tersandera dengan
kebijakan politik yang ditetapkan oleh presiden. Persaingan tertutup adalah
mematikan langkah karir ”lawan politik”nya.
Polri sebagai
pengayom masyarakat mengalami proses penyesuaian diri dengan dinamika politik
Nusantara. Sudah rahasia umum, Polri bisa sebagai perpanjangan tangan pengusaha
untuk bebagai tingkat kepentingan. Skala dunia, Polri mampu dan dipercaya
sebagai bagian konspirasi untuk membentuk opini, isu adanya Islam radikal,
Islam garis keras. Membuat stabil suatu negara dengan membuat onar dalam negeri, membuat skenario instabilitas
oleh negara adidaya dan antek-anteknya. Posisi tawar indnesia tidak hanya
lemah, hanya siap komandan! Diperkuat politik sendiko dawuh.
Jadi, untuk
mewujudkan negara stabil, sebagai syarat atau sebagai tujuan, jelas dimana
letak permasalahannya. Tergantung itikad baik penyelenggara negara yang sedang
buka praktik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar