betapa riangnya pak tua pedagang
sayur
Pernah saya ceritakan, hari minggu pagi
pak tua sembari mendorong gerobag sayur khusus ke rumah. Kuberitahu ybs kalau
ibu tugas ke luar kota. Tampak bingung. Tanyanya : “Kemana?”. Kujawab : “Ke
Mataram.” Agar tak semakin bingung, kubeli seikat bayam hijau segar. Dua ribu
lima ratus tawarnya. Tanpa kutawar, langsung kubayar kontan.
Pak tua sempat Tanya kapan ibu
pulang. Wajah tuanya menyiratkan raut kecewa. Kujawab singkat : “Masih lama.
Rencana pergi sampai kamis.” Senyumnya mulai merekah. Tak lupa menawarkan
pisang yang sering isteri saya beli. Pakai cara menolak dengan bilang, kalau
saya biasanya makan pisang ambon. Karena saya tahu ybs tidak bawa.
Hari berganti hari. Eloknya, tiap
pagi pak tua tidak tampak. Bahkan suaranya pun tidak terdengar. Beberapa saya
iseng jalan kaki menyelusuri kompleks tempat tinggal. Siapa duga bisa memergoki
pak tua. Ada niat dalam hati mau beli bayam. Atau kalau ada, pisang ambon. Anehnya,
tak kujumpai pak tua. Saya tidak Tanya ke sesame pedagang. Pak tua penduduk
asli, kami pendatang.
Pas hari-H, kamis, pagi itu sekitar pukul 7am,
dari kejauhan sudah terdengar suara pak tua : “Pisaang . . . buu, pisaaang.” Plus berguman yang tak
jelas. Agar tak kecewa saya keluar. Begitu pak tua lihat saya yang keluar,
sambut kara : “Eee, bapak.” Tanpa bisa menyembunyikan setumpuk rasa kecewa. Langsung
kutimpali : “Mau beli bayam”.
Pak tua sambil menunjukkan
gerobagnya full pisang doang. Ujarnya : “Saya cuma bawa pisang”. “Ibu sudah
pulang?”, tanyanya sambil berharap. Saya jawab : “Menjelang pulang”.
“Katanya kamis”, pak tua seperti
protes. “
“Kamis bisa sampai malam”, jelasku
biar pak tua tambah bingung atau kecewa. Tanpa pamit pak tua langsung cabut. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar