Halaman

Jumat, 11 November 2016

di atas meja masih ada meja



di atas meja masih ada meja

Apa jadinya jika pemulung buka suara. Mengeluarkan uneg-uneg yang terkumpul secara harian. Pemulung yang wakil dari bocah, jender perempuan atau keluarga pemulung. Kalau terjadi, dunia persilatan akan kebakaran jenggot. Para pesilat lidah, dalam hal ini wakil rakyat merasa kecolongan di siang hari bolong. Wewenangnya terusik. Merasa hak asasinya dilangkahi hidup-hidup.

Komunitas pemulung memanfaatkan media massa dengan berbagai bentuknya, untuk menyuarakan isi hatinya. Paling-paling bisa ditebak cuma sekitar profesinya. Namanya sampah, di tangan pemulung menjadi sumber rezeki. “Pekerjaan kotor” tetapi halal. Bagi sementara manusia, lebih baik menganggur, menumpang makan orang tua, nebeng hidup teman daripada jadi pemulung.

Jam kerja pemulung bisa lebih dari 24 jam sehari semalam. Ada yang blusukan ke setiap bak sampah sampai ada yang membuat markas sekitar tepat pengelolaan sampah terpadu (TPST) yang dikelola pemerintah kabupaten/kota. Usai mengumpulkan barang bekas, masih ada tim lain bagian sortir, mencuci, mengelompokkan sesuai bahan dan jenis temuan. Tentu ada persamaan sekaligus perbedaan antara pemulung dengan tukang beli barang bekas. Semua temuan dua profesi serumpun ini bisa dijadikan Rupiah.

Pekerjaan pemulung tampak berseberangan dengan petugas kebersihan, tetapi dipertemukan di TPST. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar