di atas
meja masih ada meja
Apa jadinya jika pemulung buka suara. Mengeluarkan
uneg-uneg yang terkumpul secara harian. Pemulung yang wakil dari bocah, jender
perempuan atau keluarga pemulung. Kalau terjadi, dunia persilatan akan
kebakaran jenggot. Para pesilat lidah, dalam hal ini wakil rakyat merasa
kecolongan di siang hari bolong. Wewenangnya terusik. Merasa hak asasinya
dilangkahi hidup-hidup.
Komunitas pemulung memanfaatkan media massa
dengan berbagai bentuknya, untuk menyuarakan isi hatinya. Paling-paling bisa
ditebak cuma sekitar profesinya. Namanya sampah, di tangan pemulung menjadi
sumber rezeki. “Pekerjaan kotor” tetapi halal. Bagi sementara manusia, lebih
baik menganggur, menumpang makan orang tua, nebeng
hidup teman daripada jadi pemulung.
Jam kerja pemulung bisa lebih dari 24 jam sehari
semalam. Ada yang blusukan ke setiap bak sampah sampai ada yang membuat markas
sekitar tepat pengelolaan sampah terpadu (TPST) yang dikelola pemerintah
kabupaten/kota. Usai mengumpulkan barang bekas, masih ada tim lain bagian
sortir, mencuci, mengelompokkan sesuai bahan dan jenis temuan. Tentu ada
persamaan sekaligus perbedaan antara pemulung dengan tukang beli barang bekas. Semua
temuan dua profesi serumpun ini bisa dijadikan Rupiah.
Pekerjaan pemulung tampak berseberangan dengan
petugas kebersihan, tetapi dipertemukan di TPST. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar