dampak kandungan moral kampanye politik bagi generasi digital
Secara pribadi saya belum pernah dengar langsung kampanye dalam rangkaian
pesta demokrasi. Karena pekerjaan pernah digiring ikut dengar kampanye. Memakai
kaos kuning yang tipisnya bisa disebut kaos saringan. Entah untuk menyaring
apa. Karena diharuskan berangkat sendiri-sendiri, tidak dikoordinir dalam
bentuk rombongan. Keluar kantor, menuju terminal. Copot kaos masukan plastik kresek, pakai baju lagi. Pulang.
Praktis.
Kalau cuma papasan di jalan dengan rombongan kampanye, sudah biasa. Bahkan
kalau bawa kendaraan, terpaksa mengalah. Tak sengaja baca/lihat kampanye di
media massa. Betapa massa ikut arus pesta demokrasi, dengan jersey atau atribut
partai, tampak begitu bangga. Tampak santun sampai beringas simak yang sedang
getol berorasi plus ndangdhut-an
sebagai bumbu penyedap.
Karena usia, setahun lagi saya masuk batas akhir disebut ‘pemuda’ versi WHO. Jelas tidak masuk kategori generasi
digital (dikit-dikit gatal). Kendati laptop yang saya berjibaku dengan
kehidupan, sebagai sarana memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi.
Efek laju produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadikan
perjalanan waktu dapat dipersingkat. Batas dan jarak spasial bisa diperpendek. Posisi
beda 1800 di bumi, bisa seolah menjadi langsung berhadapan. TIK
ibarat pisau bermata dua. Bisa menjadi senjata makan tuan, bumerang dan bom
waktu bagi penggunanya yang tidak menggunakan akal sehat. Pengguna TIK mulai
anak bau kencur, anak kemarin sore, anak yang masih ngompol sampai sebutan
pasca pemuda.
Kampanye politik tak lepas dari
unsur utama orasi, dilengkapi dengan gaya propaganda. Tak jauh dari makna
provokasi, agitasi serta seperti lagu wajib yaitu menyanjung diri sendiri. Memuja
dan memuji diri sendiri, karena kalau menungu orang lain yang melakukannya,
kelamaan.
Jadi, citra diri sebagai bumbu utama kampanye politik.
Memang ada kaitan antara kampanye politik dengan penambahan bebas watak
generasi digital. Ingat, generasi sekarang sangat kritis. Saking kritisnya bahkan tidak mampu mengkrtitisi diri sendiri.
Jangan kuatir kawan, masih ada pakem yang menentukan atau memberi
ilustrasi. Dimulai bahwa kita sudah menyadari apa itu kampanye politik. Apa bedanya
dengan pedagang kaki lima berteriak-teriak mempromosikan kehebatan barang
dagangannya.
Singkatnya, akan terjadi interaksi antara gaya pelaku kampanye dengan
pendengar atau penontonnya. Gaya merupakan refleksi dari sinerji daya pikir,
daya tindak dan daya ucap.
Penguasaan bahasa, perbendaharaan kata, substansi atau materi kampanye, merupakan
pelengkap tetapi bisa menentukan sukses tidaknya. Tampilan fisik, cara menyapa
pendengar, interaksi dengan khalayak serta mengelola waktu sebagai ramuan yang
cespleng.
Celakanya, runyamnya, generasi digital sudah punya standar, patokan,
kriteria apa yang disebut tokoh idola. Jangan-jangan banyak tokoh politik tak
masuk kamus mereka. [Haen]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar