Halaman

Kamis, 10 November 2016

dampak kandungan moral kampanye politik bagi generasi digital



dampak kandungan moral kampanye politik bagi generasi digital

Secara pribadi saya belum pernah dengar langsung kampanye dalam rangkaian pesta demokrasi. Karena pekerjaan pernah digiring ikut dengar kampanye. Memakai kaos kuning yang tipisnya bisa disebut kaos saringan. Entah untuk menyaring apa. Karena diharuskan berangkat sendiri-sendiri, tidak dikoordinir dalam bentuk rombongan. Keluar kantor, menuju terminal. Copot  kaos masukan plastik kresek, pakai baju lagi. Pulang. Praktis.

Kalau cuma papasan di jalan dengan rombongan kampanye, sudah biasa. Bahkan kalau bawa kendaraan, terpaksa mengalah. Tak sengaja baca/lihat kampanye di media massa. Betapa massa ikut arus pesta demokrasi, dengan jersey atau atribut partai, tampak begitu bangga. Tampak santun sampai beringas simak yang sedang getol berorasi plus ndangdhut-an sebagai bumbu penyedap.

Karena usia, setahun lagi saya masuk batas akhir disebut ‘pemuda’ versi WHO. Jelas tidak masuk kategori generasi digital (dikit-dikit gatal). Kendati laptop yang saya berjibaku dengan kehidupan, sebagai sarana memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Efek laju produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadikan perjalanan waktu dapat dipersingkat. Batas dan jarak spasial bisa diperpendek. Posisi beda 1800 di bumi, bisa seolah menjadi langsung berhadapan. TIK ibarat pisau bermata dua. Bisa menjadi senjata makan tuan, bumerang dan bom waktu bagi penggunanya yang tidak menggunakan akal sehat. Pengguna TIK mulai anak bau kencur, anak kemarin sore, anak yang masih ngompol sampai sebutan pasca pemuda.

 Kampanye politik tak lepas dari unsur utama orasi, dilengkapi dengan gaya propaganda. Tak jauh dari makna provokasi, agitasi serta seperti lagu wajib yaitu menyanjung diri sendiri. Memuja dan memuji diri sendiri, karena kalau menungu orang lain yang melakukannya, kelamaan.

Jadi, citra diri sebagai bumbu utama kampanye politik.

Memang ada kaitan antara kampanye politik dengan penambahan bebas watak generasi digital. Ingat, generasi sekarang sangat kritis. Saking kritisnya bahkan tidak mampu mengkrtitisi diri sendiri.

Jangan kuatir kawan, masih ada pakem yang menentukan atau memberi ilustrasi. Dimulai bahwa kita sudah menyadari apa itu kampanye politik. Apa bedanya dengan pedagang kaki lima berteriak-teriak mempromosikan kehebatan barang dagangannya.

Singkatnya, akan terjadi interaksi antara gaya pelaku kampanye dengan pendengar atau penontonnya. Gaya merupakan refleksi dari sinerji daya pikir, daya tindak dan daya ucap.

Penguasaan bahasa, perbendaharaan kata, substansi atau materi kampanye, merupakan pelengkap tetapi bisa menentukan sukses tidaknya. Tampilan fisik, cara menyapa pendengar, interaksi dengan khalayak serta mengelola waktu sebagai ramuan yang cespleng.

Celakanya, runyamnya, generasi digital sudah punya standar, patokan, kriteria apa yang disebut tokoh idola. Jangan-jangan banyak tokoh politik tak masuk kamus mereka. [Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar