gerakan
buka mulut kepala negara vs gerakan tutup mulut kepala BIN
Pasca Aksi Damai Bela Islam, jum’at 4 November
2016, terjadi dinamika anomali politik. Karena sudah jadi rahasia umum, dan
juga tak layak diperdebatkan. Tak patut dikupas ala acara TV swasta yang
mengundang ahli, pakar, penjilat sekaligus penghujat. Bagi saya cukup mewakilkan
dengan judul di atas. Penafsirannya terserah pembaca.
Apakah semua ini sebagai efek domino dari partai
politik yang tidak siap menang di pesta demokrasi 2014, atau ada skenario
terang-terangan berbasis konspirasi internasional. Ataukah sebagai efek negatif
daur ulang konsep berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di periode 2014-2019.
Secara awam, akibat pelaku ekonomi mendapat angin untuk
menjadi pelaku, pemain, pekerja, petugas politik. Masuk melalui pilkada
gubernur DKI Jakarta 2012-2017. Masa depan bangsa dan negara dijadikan ajang
taruhan. Nasib bangsa ditentukan oleh syahwat politik anak bangsa yang tak
pernah merasa bahagia. Tak pernah berkeringat. Hanya pandai menengadahkan
tangan, mendapat warisan kekuasaan secara gratis dan turun-temurun.
Memang sudah masanya, bahwa kesewenang-wenangan
politik sebagai cara konstitusional merebut kekuasaan dengan suara terbanyak,
saatnya untuk memetik hasilnya. Pengorbanan rakyat demi tegaknya demokrasi,
bukannya membuka mata hati sang penguasa, sang penyelenggara negara. Rakyat hanya
dibutuhkan suara hak pilihnya selama lima menit. Sisanya lima tahun minus lima
menit menjadi hak mutlak penguasa negara. Tidak bisa diganggu gugat.
Tentunya rakyat tidak menghendaki datangnya azab
menimpa bangsa ini. Masih banyak rakyat yang selalu mendo’akan kebaikan
bersama. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar