polemik aksi bela Islam, politik
makar vs makar politik
Antara politik, hukum dan ekonomi di Indonesia seolah berdiri sendiri,
bermain sendiri, tidak dalam satu kesatuan tatanan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Tidak saling menguatkan, tidak sinergi. Bersaing bukan untuk
kepentingan bangsa dan negara. Memang, tergantung pelakunya.
Sebagai contoh nyata dan tidak bisa diperdebatkan, adalah apa itu bentuk ‘kejahatan
politik’. Sementara pihak ada yang menyebut bahwa kemasan kejahatan
politik atau delik politik lebih berkonotasi sosiologis daripada yuridis.
Selama
proses pembuatan UU, apakah tidak ada pihak - pemerintah maupun wakil rakyat
yang notabene orang partai - yang mengusulkan definisi ‘kejahatan politik’. Secara
awam, rakyat bisa melihat bahwa ‘kejahatan politik’ bisa masuk UU partai
politik, UU pesta demokrasi, UU wakil rakyat dan wakil daerah. Kurang apa lagi
kawan.
Kata ahlinya,
perlunya batasan pengertian ‘kejahatan politik’ karena dalam rangka menentukan
apakah pelaku kejahatan politik dapat diekstradisi atau tidak. Kebijakan pemerintah
bertajuk pengampunan pajak utawa tax amnesty, untuk menganulir ‘kejahatan
ekonomi’.
Apa itu
makar? Karena ‘kejahatan politik’ mengalami proses eufimisme, proses penghalusan atau
ada nada peringkat makna. Kejahatan politik dalam wujud ‘mahar politik’, tidak
bisa terkena OTT KPK. Ucap dan ujar
kebencian, tindakan yang merugikan negara, perbuatan yang tidak menyenangkan
negara, mengutamakan produk asing dan sebagainya, tidak bisa dipolitisir. Cuma perbuatan
oknum atau dampak dari kebijakan politik.
Syarat koalisi atau gabungan dua partai politik atau lebih agar bisa memenuhi
syarat ikut pilpres. Ikhwal ini sebagai cikal bakal, benih politik makar. Pasca
pelantikan dan penyumpahan RI-1 dan RI-2, argo makar politik berlaku resmi.
Ditengarai siapa jadi apa, siapa dapat apa. Di periode 2014-2019, kemelut
politik sebagai dampak manis, sedang panen raya. Semakin marak akibat praktik
politik transaksional, politik bagi hasil, politik balas jasa, balas budi
beriringan dengan politik balas dendam.
Jadi kawan, menurut ahli bahasa politik, bagaimana tingkatan makar
tergantung pelakunya.
Jadi jika umat Islam bangkit, menggeliat akibat adanya berbagai tingkatan
kemungkaran, dapat dimulai mengingkari kemungkaran dengan dalam hati bisa
menilai, mengetahui. Langkah atau tahap berikutnya adalah keharusan umat Islam
mempertahankan agamanya dalam barisan yang teratur. Jangan bertindak secara sporadis,
acak dan musiman.
Kita simak terjemahan [QS Ash Shaff (61)
: 4] : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan
yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
Merapatkan barisan, menggalang solidaritas, satunya kata dengan tindakan,
tidak sekedar turun ke jalan. Lakukan aksi unjuk rasa, aksi unjuk raga, yang
berarti bukan tidak manjurnya peran wakil rakyat. “Kejahatan politik” oleh
penguasa harus dipadamkan dengan gaya politik yang santun, ramah dan beretika. Memperjuangkan
nasib sendiri memang kewajiban setiap individu. Karena kita hidup di negara dan
bangsa sebagai keluarga besar, tak akan luput dari intrik politik atau “kejahatan
politik” yang tebang pilih.
Langkah berikutnya adalah memanfaatkan media massa dengan berbagi
tampilannya. Perjuangan melalui tulisan, menyuarakan kebenaran, dengan semangat
ukhuwah. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, sebagai sarana ekspresi dan
perlawanan diam.
Intinya, tindakan umat Islam untuk mengingkari kemungkaran, harus
dilakukan dalam satu kesatuan, menerus, dan tetap di jalan-Nya. Kerena bentuk
kemungkaran sekarang ini sudah sebagai sistem, masif, legal, konstitusional dan
mendunia. Jangan sampai umat Islam mebenturkan diri ke dinding kemungkaran yang
berwujud korporasi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar