Halaman

Jumat, 25 November 2016

polemik aksi bela Islam, politik makar vs makar politik



polemik aksi bela Islam, politik makar vs makar politik

Antara politik, hukum dan ekonomi di Indonesia seolah berdiri sendiri, bermain sendiri, tidak dalam satu kesatuan tatanan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tidak saling menguatkan, tidak sinergi. Bersaing bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Memang, tergantung pelakunya.

Sebagai contoh nyata dan tidak bisa diperdebatkan, adalah apa itu bentuk ‘kejahatan politik’. Sementara pihak ada yang menyebut bahwa  kemasan kejahatan politik atau delik politik lebih berkonotasi sosiologis daripada yuridis.

Selama proses pembuatan UU, apakah tidak ada pihak - pemerintah maupun wakil rakyat yang notabene orang partai - yang mengusulkan definisi ‘kejahatan politik’. Secara awam, rakyat bisa melihat bahwa ‘kejahatan politik’ bisa masuk UU partai politik, UU pesta demokrasi, UU wakil rakyat dan wakil daerah. Kurang apa lagi kawan.

Kata ahlinya, perlunya batasan pengertian ‘kejahatan politik’ karena dalam rangka menentukan apakah pelaku kejahatan politik dapat diekstradisi atau tidak. Kebijakan pemerintah bertajuk pengampunan pajak utawa tax amnesty, untuk menganulir ‘kejahatan ekonomi’.

Apa itu makar? Karena ‘kejahatan politik’ mengalami proses eufimisme, proses penghalusan atau ada nada peringkat makna. Kejahatan politik dalam wujud ‘mahar politik’, tidak bisa terkena OTT KPK.  Ucap dan ujar kebencian, tindakan yang merugikan negara, perbuatan yang tidak menyenangkan negara, mengutamakan produk asing dan sebagainya, tidak bisa dipolitisir. Cuma perbuatan oknum atau dampak dari kebijakan politik.

Syarat koalisi atau gabungan dua partai politik atau lebih agar bisa memenuhi syarat ikut pilpres. Ikhwal ini sebagai cikal bakal, benih politik makar. Pasca pelantikan dan penyumpahan RI-1 dan RI-2, argo makar politik berlaku resmi. Ditengarai siapa jadi apa, siapa dapat apa. Di periode 2014-2019, kemelut politik sebagai dampak manis, sedang panen raya. Semakin marak akibat praktik politik transaksional, politik bagi hasil, politik balas jasa, balas budi beriringan dengan politik balas dendam.

Jadi kawan, menurut ahli bahasa politik, bagaimana tingkatan makar tergantung pelakunya.

Jadi jika umat Islam bangkit, menggeliat akibat adanya berbagai tingkatan kemungkaran, dapat dimulai mengingkari kemungkaran dengan dalam hati bisa menilai, mengetahui. Langkah atau tahap berikutnya adalah keharusan umat Islam mempertahankan agamanya dalam barisan yang teratur. Jangan bertindak secara sporadis, acak dan musiman.

Kita simak terjemahan [QS Ash Shaff (61) : 4] : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.

Merapatkan barisan, menggalang solidaritas, satunya kata dengan tindakan, tidak sekedar turun ke jalan. Lakukan aksi unjuk rasa, aksi unjuk raga, yang berarti bukan tidak manjurnya peran wakil rakyat. “Kejahatan politik” oleh penguasa harus dipadamkan dengan gaya politik yang santun, ramah dan beretika. Memperjuangkan nasib sendiri memang kewajiban setiap individu. Karena kita hidup di negara dan bangsa sebagai keluarga besar, tak akan luput dari intrik politik atau “kejahatan politik” yang tebang pilih.

Langkah berikutnya adalah memanfaatkan media massa dengan berbagi tampilannya. Perjuangan melalui tulisan, menyuarakan kebenaran, dengan semangat ukhuwah. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, sebagai sarana ekspresi dan perlawanan diam.

Intinya, tindakan umat Islam untuk mengingkari kemungkaran, harus dilakukan dalam satu kesatuan, menerus, dan tetap di jalan-Nya. Kerena bentuk kemungkaran sekarang ini sudah sebagai sistem, masif, legal, konstitusional dan mendunia. Jangan sampai umat Islam mebenturkan diri ke dinding kemungkaran yang berwujud korporasi. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar