Halaman

Selasa, 08 November 2016

Efek Domino Arus Bebas Tenaga Kerja Asing



Efek Domino Arus Bebas Tenaga Kerja Asing

ASEAN telah melanjutkan rencana integrasi ekonominya dengan membuat blueprint Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang ditandatangani di Singapura pada tahun 2007. Diperlukan waktu 12 tahun bagi ASEAN untuk mewujudkan integrasi ekonomi antarnegara anggota. MEA sejatinya merupakan pasar tunggal dan basis produksi. Ada lima komponen utama dalam pembentukan pasar tunggal dan basis produksi ASEAN. Pertama, arus bebas barang. Kedua, arus bebas jasa. Ketiga, arus bebas investasi. Keempat, arus bebas modal. Kelima, arus bebas tenaga kerja terampil.

Pekerjaan Rumah (PR) bangsa dan negara Indonesia untuk menyiapkan tenaga kerja yang dikenal pendidikan dan produktivitasnya termasuk rendah, lebih rendah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. PR lain menghadang ketika secara factual dan aktual Indonesia memperoleh bonus demografi di tahun 2015-2020. Sistem ekonomi liberal menggariskan bahwa tenaga kerja terampil yang akan menang dalam persaingan.

Risiko arus bebas tenaga kerja terampil, timbulnya konflik budaya antarpekerja. Hubungan antarpekerja dari walau sesama ASEAN, tidak otomatis  akan harmonis, bila tidak bersifat toleran dan saling menghargai. Pekerja asing yang tidak mau membaur dengan tenaga kerja lokal, menjadi sumber konflik. Paling parah bila terjadi konflik kekerasan antarpekerja dengan didasari sentimen SARA atau kewarganegaraan.

MEA bernafaskan ideologi liberalisme ekonomi, mau tak mau semua negara anggotanya harus mempraktikkannya. Negara yang menerapkan sistem pemerintahan non-liberal terpaksa ikut arus. Semua sektor pembangunan harus terbuka dan persaingan tidak dapat dihindarkan. Semua negara anggota dituntut untuk menerapkan sistem ekonomi “invisible hand” versi Adam Smith. Intervensi pemerintah sebagai regulator ditekan seminim mungkin, demi kelancaran investasi dan perdagangan antarnegara anggota. Setiap negara mempertaruhkan warga negaranya untuk berjibaku masuk ke dalam ajang kompetisi antarnegara. Tantangan dari sistem ekonomi liberal, yaitu setiap orang dihargai atas gagasan, keterampilan dan keberhasilan individual. Pemerintah hanya bisa bertindak sebagai fasilitator untuk warga negaranya. Setiap individu kini benar-benar berada dalam posisi sendiri.

Kita masih ingat, periode 2014-2019 pemerintah Jokowi–JK telah melanjutkan tradisi ikatan moral poltik dengan negara China. Ikhtiar ini sebagai langkah tindak lanjut kemesraan, menyambung sejarah Bung Karno yang membuka poros Jakarta–Peking (berakhir tragis di kudeta PKI 30 September 1965). Efek domino adalah serbuan tenaga kerja asing asal China. Tentunya masih di bawah standar tenaga kerja terampil ASEAN. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar