Halaman

Senin, 21 November 2016

Aksi Bela Islam, Pemerintah Antipati atau Alérgi




Aksi Bela Islam, Pemerintah Antipati atau Alérgi

Pemerintah terlihat gamang, bias maupun mendua saat mengantisipasi keamanan dalam negeri. Setiap kejadian perkara yang potensial berdampak pada aksi unjuk rasa, gerakan unjuk raga rakyat turun ke jalan, atau gerakan aksi masa, pemerintah lebih cenderung melakukan tindakan halau asap daripada memadamkan apinya. Terlebih jika sang biang kerok, ahli bikin onar, masuk kategori orang terhormat, berpangkat, berpengaruh, super kaya dan berkemampuan ekonomi tinggi, punya jabatan atau masuk jajaran penyelenggara negara.

Terkhusus pada Aksi Damai Bela Islam II, jum’at 4 November 2016, pemerintah mempraktikkan jurus berkelit daripada menerima kenyataan yang ada. Pemerintah sengaja tidak membukan kran komunikasi dengan pihak yang sedang menentukan sikap frontal, terkoordinir dan fokus pada masalah tertentu. Pemerintah membiarkan kasus jadi bola liar, bola panas. Seperti diserahkan ke mekanisme pasar. Pemerintah bersifat pasif, menunggu atau bermain aman. Karena masih ada aji pamungkas yang diandalkan.

Pemerintah berlindung di balik Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 perubahan keempat, yaitu : “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Dengan penjelasan pasal ini mengenai "noodberordeningsrecht" Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Hak membuat peraturan darurat ini hanya boleh digunakan bila ada hal kegentingan yang memaksa.

Kita berharap, niat tulis pemerintah untuk tidak mendramatisir, memputarbaikkan, merekayasa kondisi yang sedang terjadi, kondisi terkini, kondisi actual dan factual masuk ke ranah mengganggu keselamatan negara.

Kita wajib mengacu pada makna keadaan darurat sipil, yaitu apabila keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau sebagian wilayah Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan negara secara biasa.

Sebagai negara hukum yang didominasi oleh kekuatan politik liwat penguasa, pemerintah lebih fokus pada akibat daripada penyebab masalah. Lazim kalau pisau hukum tajam dan manjur ke bawah, daripada ke atas, ke pihak atau oknum penyebab, pemacu, pemicu kerusuhan. Terlebih kerusuhan berbasis SARA. Hukum masih mengenal asas tak bersalah dengan menerapkan sistem tebang pilih.

Pemerintah sejauh ini memang tampak fleksibel terhadap sutradara di balik layar, aktor intelektual di lapangan berbagai tindak kejadian perkara yang merugikan rakyat. Kalau kasus yang merugikan negara, ada pasal yang bisa menjerat. Itupun juga tergantung pelakunya.

Semakin ironis jika presiden memaknai Pasal 10 UUD 1945 perubahan keempat, yaitu : Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.” Dengan penjelasan pasal ini yang seharusnya termasuk konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai kepala negara. Kedudukan Presiden di dalam Pasal ini bukan sebagai Commander in Chief melainkan sebagai konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan yang dimaksud dengan kekuasaan tersebut di atas adalah bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang komando atas angkatan perang Indonesia, melainkan wewenang menentukan hal-hal yang strategis saja.

Ternyata, presiden dengan kedudukannya sebagai kepala negara, malah memanfaatkan TNI dan Polri untuk membuat aksi tandingan. Ingin membuktikan dengan cara sederhana melalui show of force-nya TNI dan Polri, sebagai perwujudan kaidah ‘wewenang menentukan hal-hal yang strategis saja’. Bukan sekedar agar jalannya pemerintah aman, ada sasaran dan target yang lebih besar, nyata dan terukur. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar