Aksi Bela Islam,
Pemerintah Antipati atau Alérgi
Pemerintah terlihat gamang,
bias maupun mendua saat mengantisipasi keamanan dalam negeri. Setiap kejadian
perkara yang potensial berdampak pada aksi unjuk rasa, gerakan unjuk raga
rakyat turun ke jalan, atau gerakan aksi masa, pemerintah lebih cenderung
melakukan tindakan halau asap daripada memadamkan apinya. Terlebih jika sang
biang kerok, ahli bikin onar, masuk kategori orang terhormat, berpangkat, berpengaruh,
super kaya dan berkemampuan ekonomi tinggi, punya jabatan atau masuk jajaran
penyelenggara negara.
Terkhusus pada Aksi Damai
Bela Islam II, jum’at 4 November 2016, pemerintah mempraktikkan jurus berkelit
daripada menerima kenyataan yang ada. Pemerintah sengaja tidak membukan kran
komunikasi dengan pihak yang sedang menentukan sikap frontal, terkoordinir dan
fokus pada masalah tertentu. Pemerintah membiarkan kasus jadi bola liar, bola
panas. Seperti diserahkan ke mekanisme pasar. Pemerintah bersifat pasif,
menunggu atau bermain aman. Karena masih ada aji pamungkas yang diandalkan.
Pemerintah berlindung di
balik Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 perubahan keempat, yaitu : “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.” Dengan penjelasan pasal ini mengenai "noodberordeningsrecht" Presiden. Aturan sebagai ini memang
perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam
keadaan yang genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Hak
membuat peraturan darurat ini hanya boleh digunakan bila ada hal kegentingan
yang memaksa.
Kita berharap, niat tulis pemerintah untuk tidak
mendramatisir, memputarbaikkan, merekayasa kondisi yang sedang terjadi, kondisi
terkini, kondisi actual dan factual masuk ke ranah mengganggu keselamatan
negara.
Kita wajib mengacu pada
makna keadaan
darurat sipil, yaitu apabila keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah
atau sebagian wilayah Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan,
kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak
dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan negara secara biasa.
Sebagai negara hukum yang didominasi oleh kekuatan
politik liwat penguasa, pemerintah lebih fokus pada akibat daripada penyebab
masalah. Lazim kalau pisau hukum tajam dan manjur ke bawah, daripada ke atas,
ke pihak atau oknum penyebab, pemacu, pemicu kerusuhan. Terlebih kerusuhan
berbasis SARA. Hukum masih mengenal asas tak bersalah dengan menerapkan sistem
tebang pilih.
Pemerintah sejauh ini memang tampak fleksibel terhadap sutradara
di balik layar, aktor intelektual di lapangan berbagai tindak kejadian perkara
yang merugikan rakyat. Kalau kasus yang merugikan negara, ada pasal yang bisa
menjerat. Itupun juga tergantung pelakunya.
Semakin ironis jika presiden memaknai Pasal 10 UUD 1945 perubahan keempat, yaitu : “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.” Dengan penjelasan pasal ini yang
seharusnya termasuk konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai kepala negara.
Kedudukan Presiden di dalam Pasal ini bukan sebagai Commander in Chief melainkan sebagai konsekuensi dari kedudukan
Presiden sebagai Kepala Negara dan yang dimaksud dengan kekuasaan tersebut di
atas adalah bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang komando atas angkatan
perang Indonesia, melainkan wewenang menentukan hal-hal yang strategis saja.
Ternyata, presiden dengan kedudukannya sebagai kepala
negara, malah memanfaatkan TNI dan Polri untuk membuat aksi tandingan. Ingin membuktikan
dengan cara sederhana melalui show of
force-nya TNI dan Polri, sebagai perwujudan kaidah ‘wewenang menentukan
hal-hal yang strategis saja’. Bukan sekedar agar jalannya pemerintah aman, ada
sasaran dan target yang lebih besar, nyata dan terukur. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar