dikotomi Polri di pusaran politik,
ringan tangan vs ringan kepala
Awam sudah bisa menebak
jalan cerita dan akhir cerita perjuangan Polri mengusut kasus penistaan agama
yang dilakukan oleh gubernur DKI Jakarta. Caranya sederhana, tidak perlu
memakai kajian, pengamatan atau pasal pendukung, cukup dengan melihat bahwa
kasus Ahok dimasukkan ke dalam ranah politik. Habis perkara. Paling tidak,
Polri sebagai aparat penegak hukum, dengan kemampuan bermanuver akan mampu
melakukan tindakan legal, berdasarkan pasal kebijakan hukum, konstitusional apa
saja. Laporannya sesuai versi zaman Orde Baru, yaitu ABS (asal bapak senang).
Bermula dari jabatan
kapolri sekarang ini, merupakan rekayasa, selera dan citra politik penguasa. Asas
senioritas alumni akademi kepolisian tidak menjadi bahan pertimbangan utama
presiden. Komjen Tito Karnavian sebagai
calon kapolri melalui proses uji
kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh DPR, 23 Juni 2016, dan dinyatakan ‘lulus’. Tanggal 13 Juli 2016, Tito secara
resmi dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden.
Kegesitan, kecekatan,
kepiawaian Polri (ringan tangan) polri
serta kemampuan membaca, menyerap serta menterjemahkan pesan politik
penguasa (ringan kepala), menjadikan proses pengusutan tidak pakai lama. Atau tunggu
pasca pilkada gubernur DKI Jakarta 2017. Aroma irama politik sudah dihayati
oleh Kapolri luar dalam. Walhasil, bahasa hukum menjadi tersisih oleh dominasi
bahasa politik. Mau apa lagi. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar