pemerintah 2014-2019, aktor politik vs pelaku
ekonomi vs permintaan pasar
Disinyalir oleh bukan ahlinya,
tetapi sekedar punya hak konstitusi bahwasanya pemerintah 2014-2019 semangkin
menunjukkan daripada watak aslinya. Memasuki tahun ketiga, anomali politik
membuat kehidupan politik menjadi tak bertuan. Pihak tertentu ada yang merasa
nyaman di zona aman. Kedudukannya sebagai penylenggara negara aman sampai akhir
periode.
Kejadian aneh di Nusantara, di negara lain tidak boleh ada asosiasi pengusaha atau
pedagang. Di Indonesia, malah menjadi suatu keharusan. Agar terjadi koordinasi
antara pemerintah dengan pengusaha/pedagang. Pelaku ekonomi, tanpa asosiasi,
mampu mendikte pelaku politik atau aktor politik yang sedang buka praktik. Pelaku ekonomi mampu memanipulasi
harga politik untuk merugikan konsumen, untuk mengeksploitasi pasar.
Penyusunan RUU, sudah
lagu lama bahwa pihak pelaku ekonomi mampu menawarkan produk aturan hukum ke
DPR maupun pemerintah. Muncul pasal siluman, pasal karet. Anomali
politik versi RUU ini akan menimbulkan ketidakjelasan mengenai siapa
penentu aturan dan siapa pihak yang seharusnya menerima atau pengguna aturan. Regulasi
di Indonesia ini acap dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi sebagai ajang maneuver untuk kepentingan mendistorsi pasar.
Animal instinct yang dikandung pelaku ekonomi
menyebabkan mereka bisa berada di mana saja, kapan saja serta dapat berkongsi
dengan siapa saja. Secara historis, mereka lebih eksis, lebih awal dibanding keberadaaan
NKRI pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.
Jangan lupa, tidak salah jika
ada anggapan ancaman politisi dalam negeri bisa lebih berbahaya daripada
ancaman langsung dari negara asing. Pelaku politik lokal mempunyai daya rusak
terhadapan tatanan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Mereka menganggap
lawan politik sebagai musuh bebuyutan yang harus dibumihanguskan sebelum tunas.
[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar