Halaman

Sabtu, 05 November 2016

pemerintah 2014-2019, aktor politik vs pelaku ekonomi vs permintaan pasar



pemerintah 2014-2019, aktor politik vs pelaku ekonomi vs permintaan pasar

Disinyalir oleh bukan ahlinya, tetapi sekedar punya hak konstitusi bahwasanya pemerintah 2014-2019 semangkin menunjukkan daripada watak aslinya. Memasuki tahun ketiga, anomali politik membuat kehidupan politik menjadi tak bertuan. Pihak tertentu ada yang merasa nyaman di zona aman. Kedudukannya sebagai penylenggara negara aman sampai akhir periode.

Kejadian aneh di Nusantara, di negara lain tidak boleh ada asosiasi pengusaha atau pedagang. Di Indonesia, malah menjadi suatu keharusan. Agar terjadi koordinasi antara pemerintah dengan pengusaha/pedagang. Pelaku ekonomi, tanpa asosiasi, mampu mendikte pelaku politik atau aktor politik yang sedang buka  praktik. Pelaku ekonomi mampu memanipulasi harga politik untuk merugikan konsumen, untuk mengeksploitasi pasar.

 Penyusunan RUU, sudah lagu lama bahwa pihak pelaku ekonomi mampu menawarkan produk aturan hukum ke DPR maupun pemerintah. Muncul pasal siluman, pasal karet. Anomali politik versi RUU ini akan menimbulkan ketidakjelasan mengenai siapa penentu aturan dan siapa pihak yang seharusnya menerima atau pengguna aturan. Regulasi di Indonesia ini acap dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi sebagai ajang maneuver  untuk kepentingan mendistorsi pasar.

Animal  instinct yang dikandung pelaku ekonomi menyebabkan mereka bisa berada di mana saja, kapan saja serta dapat berkongsi dengan siapa saja. Secara historis, mereka lebih eksis, lebih awal dibanding keberadaaan NKRI pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.

Jangan lupa, tidak salah jika ada anggapan ancaman politisi dalam negeri bisa lebih berbahaya daripada ancaman langsung dari negara asing. Pelaku politik lokal mempunyai daya rusak terhadapan tatanan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Mereka menganggap lawan politik sebagai musuh bebuyutan yang harus dibumihanguskan sebelum tunas. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar